BERBAGI UNTUK SALING MENCERAHKAN..

Apakah dunia maya se-fana dunia nyata?
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..

Selasa, 08 Februari 2011

Fakta Dunia “Remang-Remang” Vs Religiusitas Masyarakat Kota Santri


Oleh:
Rino Sundawa Putra

Fakta-fakta tentang dunia esek-esek di Tasikmalaya yang begitu gamblang disajikan oleh Radar Tasikmalaya tidak membuat penulis tercengang. Fenomena dunia penuh lendir dan syahwat ini (begitulah Radar Tasikmalaya mengistilahkannya) sudah tidak lagi menjadi rahasia pribadi, tapi sudah menjadi rahasia umum, bahkan sebagian masyarakat sudah tidak menganggap tabu lagi dunia “pelesir” syahwat ini. lewat produk jurnalistik dengan menggunakan metode investigasi dan wawancara mendalam (Indepth Interview), Radar berhasil “memotret” dan mengangkat realitas ini secara apik bagai sebuah bagian-bagian novel yang membuat pembacanya begitu penasaran untuk membaca lanjutan berita (Picture) yang dibuat bersambung ke beberapa edisi.
Tapi disisi lain penulis juga mempunyai dua asumsi yang berlawanan karena terbukanya informasi yang sangat gamblang tentang fenomena dunia esek-esek di Tasikmalaya ini. Asumsi pertama, dengan diangkatnya fakta esek-esek ini, akan timbul kesadaran dan kewaspadaan kolektif tentang bahaya penyakit masyarakat ini. Publik kemudian akan saling mewaspadai karena sudah tahu celah-celah, tempat-tempat dan motif-motif dunia prostitusi yang secara gamblang dijelaskan. Hal ini sangat penting untuk mewaspadai agar orang terdekat kita seperti anak, kakak, adik, saudara bahkan orang tua tidak menjadi penikmat dunia haram ini. Tapi asumsi kedua adalah sebuah kekhawatiran, karena disisi lain bila terbukanya informasi mengenai celah-celah prostitusi di

Tasikmalaya tanpa dimuatnya penuturan, komentar dan “petuah-petuah” dari para tokoh seperti tokoh agama, alim ulama, sosiolog, budayawan atau bahkan psikolog dikhawatirkan informasi tersebut akan “merangsang” dan membangkitkan rasa penasaran pembaca untuk mau mencoba menjadi penikmat PSK. Ini artinya ketakutan adanya ketidak seimbangan dominasi informasi, wacana, pandangan bahkan internalisasi dari objek berita bila tidak diimbangi pendapat dan petuah para tokoh yang mempunyai kompetensi dalam mengomentari hal ini, akan membuat informasi tersebut disalah gunakan dengan merespon bahwa informasi tersebut bukan untuk membangun kewaspadaan, tapi justru malah membangun “ketertarikan”.

Tapi apapun kekhawatiran itu, bagi penulis, karya jurnalistik ini sangat layak untuk dijadikan referensi bahkan laporan yang sangat teruji validitasnya bagi pemangku kebijakan pemerintah Kota/Kabupaten Tasikmalaya. Bayangkan, dengan menggunakan metode Snow Ball sampling reporter Radar Tasikmalaya berhasil masuk kedalam jaringan penyedia layanan PSK (mami) ini, kemudian mewawancari satu persatu, dari mulai PSK kelas teri sampai PSK kelas kakap. Dari siswi SLTP, SLTA, mahasiswi sampai PSK berusia lanjut, semua terklasifikasikan dengan lengkap. Investigasi semacam ini memang memerlukan totalitas dari reporternya sendiri untuk masuk dengan penuh resiko kedunia “malam” ini. Kalaulah pemerintah mau peka terhadap masalah sosial ini, yang berdampak sangat buruk bagi moralitas masyarakat Tasikmalaya, pemerintah harus sigap mengolah data-data dan informasi ini yang kemudian dijadikan bahan untuk menganalisa celah-celah mana saja yang bisa diusahakan untuk meminimalisir praktek haram ini. kalau pemerintah mau konsisten ingin membangun dan mempertahankan masyarakat yang religius Islami (Kabupaten memiliki Visi Misi Relgius Islami dan Kota memiliki Perda Tata Nilai nomor 12 Tahun 2009), alangkah baiknya data-data ini tidak diabaikan.

Sahabat saya, kang Asep M Tamam begitu cerdas menyikapi masalah sosial ini yang dimuat di Radar Tasikmalaya sebagai sebuah ironi yang terjadi di Tasikmalaya, ditengah jargon religiusitas yang begitu dijunjung tinggi. Bagi penulis, ini adalah sebuah menara gading yang sangat sulit dipahami, dihayati, diinternalisasikan apalagi diimplementasikan oleh masyarakat luas. Visi misi Religius Islam yang dimiliki Kabupaten Tasikmalaya dan Perda Nomor 12 yang dimiliki Kota Tasikmalaya tidak pernah menyentuh kesadaran kolektivitas masyarakatnya untuk mau meningkatkan nilai-nilai Islami dalam dirinya. Dimana letak kesalahannya, sehingga pelembagaan nilai-nilai dan hukum teologis agama (Islam) kedalam struktur formal kekuasaan yang kemudian dikonversi menjadi prinsip, landasan dan hukum posistif daerah tidak mempan dalam meningkatkan religiusitas dan moralitas masyarakat. Apakah telah terjadi inkonsistensi dari pemerintah untuk mau betul-betul menjaga nilai-nilai religiusitas masyarakatnya? Apakah tidak solidnya perangkat dan aparatur yang terlibat?, apakah lemahnya implementasi dari para penegak aturan daerah akibat keengganan untuk menegakannya? Atau ada faktor diluar itu, seperti maraknya konten-konten pornografi, gencarnya arus budaya hedonisme, materialisme dan gaya hidup glamor dengan memamerkan keseksian tubuh? Inilah beberapa pertanyaan yang menggelayuti pikiran penulis.

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, kemudian penulis menyimpulkan. Dalam masalah ini, sangatlah tidak adil untuk menunjuk salah satu pihak atau faktor untuk dipersalahkan. Maraknya praktek prostusi ini bagaikan rangkaian puzzle yang masing-masing punya keterkaitan, sehingga akan membentuk korelasi yang utuh sebagai sebuah akibat. Memang sangat sulit bila hanya mengandalkan sebuah produk hukum positif apalagi Perda) atau sebatas visi misi ditengah gencarnya arus paradigma budaya hedonis dan materialis. Ditambah mudahnya mengakses materi-materi porno sebagai akibat perkembangan teknologi informasi yang begitu dahsyat. Sebab-sebab inilah yang kemudian secara perlahan tapi pasti akan mengikis dan mencerabut moralitas dan nilai-nilai Islami. Bukan sebuah keniscayaan, bila Tasikmalaya yang dulu dikenal karena religiusitas masyarakatnya, berkembangnya dunia pendidikan berbasis keagamaan (Pesantren), kini tinggal sebuah jargon-jargon politik milik para elite yang hanya menjadi menara gading.

Memberangus Akar Penyebab

Fenomena dunia esek-esek ini memang sangat sulit diberantas karena hukum ekonomi berlaku disana, hukum permintaan dan penawaran (Supply and Demand). Sejauh permintaan dari para lelaki hidung belang masih banyak, otomatis praktek prostitusi akan semakin mendapat tempat dan akan terus menjamur. Dan bila saja permintaan itu berkurang, atau mungkin tidak ada sama sekali, otomatis warung remang-remang, lokalisasi dan tempat-tempat mangkal para PSK akan tutup, dan para PSK mau tidak mau akan mencari pekerjaan yang halal untuk mencari nafkah.

Masalah terkikisnya nilai-nilai religiusitas bukanlah milik Tasikmalaya saja, ini adalah masalah nasional bahkan global. Akar permasalahan bukanlah bersumber dari ranah lokal saja, apalagi menganggap mubazirnya produk-produk hukum (Perda) bernuansa syariat dibeberapa daerah di Indonesia yang sempat menjadi polemik. Perlu kerja kolektif antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam meminimalisir masalah ini. pemberantasan materi-materi porno diberbagai media, adalah salah satu langkah dalam usaha meminimalisir masalah ini.

Materi-materi porno memang secara kita tidak sadari telah masuk-masuk ke ruang-ruang keluarga lewat televisi. Tayangan-tayangan yang menggumbar keseksian tubuh adalah tayangan yang sehari-hari kita dapatkan, baik itu di acara sinetron, film, infotainment, acara otomotif, musik, bahkan iklan. Bayangkan bila tayangan-tayangan tersebut setiap hari dilihat oleh anak-anak. Film-film yang bertemakan komedi-seks-horor harus betul-betul diberangus dalam dunia perfilman kita, itu sebabnya konsistensi Lembaga Sensor Film (LSI) sangat diperlukan, karena sering kali film-film berbau pornografi bahkan berjudul cabul bisa lolos ditonton ribuan masyarakat di bioskop dan di televisi. Bila produk hukum (Perda bernuansa syariat) sudah dianggap tidak efektif untuk meminimalisir tindak pelanggaran asusila ini karena bersifat penindakan dan bukan pencegahan, maka orientasi usaha ini harus dirubah. Paradigma penindakan harus dirubah menjadi paradigma pencegahan. Dalam orientasi ini, peran tokoh-tokoh agama dari berbagai lintas agama perlu ditingkatkan, faktor pendidikan dini dilingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan formal harus menjadi ranah yang diutamkan dalam membina generasi, artinya kesadaran kolektiflah yang harus dibangun secara dini untuk memberikan kesadaran bahwa tindakan asusila adalah perbuatan tercela. Bila pemerintah mau bersungguh-sungguh, banyak akses-akses menuju upaya yang berorientasi pencegahan yang bisa dilakukan, salah satunya yang penulis paparkan diatas.

Ini adalah pekerjaan rumah kita semua, karena masalah prostitusi ini terbentuk bukan tanpa sebab. Semua berperan, pemerintah berperan dalam ranah legal formal, dan kita sebagai individu-individu juga berperan dalam berbagai kapasitasnya, minimal kita sebagai individu tidak tergoda menjadi penikmat PSK ditengah arus godaan syahwat yang luar biasa gencar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar