BERBAGI UNTUK SALING MENCERAHKAN..

Apakah dunia maya se-fana dunia nyata?
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..

Senin, 21 Maret 2011

Ekspektasi Hubungan Islam dan Amerika di Bawah Kepemimpinan Obama



Oleh: Rino sundawa PUTRA

Kebijakan politik luar negeri Bush begitu memposisikan Islam baik itu Islam sebagai agama, ideologi dan negara sebagai lawan tanding dalam pergulatan politik luar negeri Amerika. Dibawah kepemimpinan Bush banyak kebijakan militer dan strategi politik luar negerinya yang dianggap tidak adil terhadap dunia Islam, bahkan Bush tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer melakukan invasi ke negara-negara yang dianggap sarang teroris yang dianggap merintangi perdamaian dunia. Irak dan Afganistan adalah beberapa negara yang dijadikan “proyek” awal kebijakan luar negeri Bush mengatasnamakan perdamaian dunia dan terorisme. Terorisme dalam pandangan Bush, selalu lahir dari rahim gerakan-gerakan Islam. Pengklasifikasian Islam radikal dan moderat digunakan oleh Bush sebagai pemetaan, Mana Islam teroris dan mana Islam agama. Bush telah membuat gap hubungan Islam dan barat, termasuk di Indonesia. Amerika telah dibuat sebagai negara antagonis bagi dunia Islam karena kebijakan Bush yang anti Islam.

Tinjauan Ilmiah Benturan Peradaban
The Clash of Civilization, itulah tesisnya Samuel hutington yang menggemparkan, sekaligus juga dianggap provokatif. Dalam kajiannya, Hutington mengklasifikasikan beberapa peradaban, salah satunya perdaban Islam yang diramalkan oleh Hutington sebagai calon kekuatan global baru yang praktis akan menjadi kompetitor kekuatan global tunggal Amerika. Hutington meramalkan, setelah runtuhnya kekuatan kiri Uni soviet sebagai kekuatan pembanding Amerika pasca perang dingin, Islam-lah yang kemudian akan bangkit menyusun dominasi baru menandingi Amerika sebagai negara adidaya, dan benturan peradaban pun tidak dapat dihindari sebagai suatu keharusan siklus percaturan politik global, Amerika mau tidak mau harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan Islam, terutama Islam yang dianggap radikal. Celakanya, tesisnya hutington ini dipercaya, bahkan menjadi referensi untuk strategi politik luar oleh para politisi Amerika, termasuk Bush.
Tidak hanya disitu, Hutington kemudian menyodorkan data-data baru dari hasil polingnya yang dilakukan pada tahun 2001-2002 di sembilan negara Islam. Poling tersebut menunjukan bahwa sebagian kelompok-kelompok Islam tidak suka terhadap kebijakan-kebijakan politik luar negeri Amerika. Yang lebih provokatif lagi, dalam bukunya, Who Are We?: The Challenges to America National Identity, 2004, Hutington menunjukan kekuatan-kekuatan Islam militan akan bangkit sebagai pengganti kekuatan Uni Soviet. Untuk melawan kekuatan-kekutan Islam Militan Amerika harus melakukan apa yang disebutnya sebagai perang baru (new war). Perang baru ini sebagai jalan menghadang berkembangnya potensi kekuatan-kekuatan Islam militan yang terus berkembang. Jika dilihat dari tinjauan yang dikemukakan oleh Hutington, isu terorisme yang gencar “dipromosikan” Amerika, adalah satu bagian perang baru itu (new war) dan ini menyangkut percaturan geopolitik di Asia tenggara, khususnya Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim.

Harapan Baru di Bawah Obama
Pada saat gencar-gencarnya menjelang Pemilu 2008 di AS, kalangan dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia bahkan dunia mulai menaruh hati pada calon Presiden dari partai Demokrat, Barack Husein Obama. Harapan mengenai hubungan Islam dan barat yang lebih adil, tidak ada kecurigaan dan lebih moderat dari kebijakan politik luar AS. Harapan agar Obama akan merubah status AS sebagai negara antagonis bagi dunia Islam dalam menjalankan politik luar negerinya, ditinjau dari berbagai sudut pandang. Obama diharapkan tidak melakukan politik intervensi terhadap negara-negara Islam seperti yang dilakukan pendahulunya.

Harapan kalangan Islam terhadap Obama ini memang begitu besar dirasakan, bahkan sebagian kelompok muslim yang berkarakter moderat di Indonesia, meyakini lawatan Obama ke Indonesia kali ini adalah sebagai upaya Obama membangun citra positif hubungan AS dengan Islam, hal ini ditandai dengan rencana kunjungan Obama ke mesjid Istiqlal Jakarta yang menjadi simbol besar umat Islam di Indonesia. Walaupun memang ada beberapa kelompok Islam yang menentang kedatangan Obama ke Indonesia, karena menganggap Obama tidak jauh berbeda dengan presiden pendahulunya, Bush.

Fakta yang kemudian menjelaskan betapa adanya harapan besar terhadap kepemimpinan Obama dalam merevisi hubungannya dengan Islam, adalah sambutan positif tokoh-tokoh Islam salah satunya dari ketua PP Muhamadiyah Din Syamsudin dan tokoh NU KH. Hasyim Muzadi, kedua tokoh ini bisa dijadikan indikator bahwa hampir semua umat Islam di Indonesia menyambut baik kedatangan Obama, karena kedua tokoh ini adalah pemimpin dua organisasi Islam besar di Indonesia. Media massa juga tidak terlalu di sibukan dengan liputan aksi-aksi penolakan terhadap kedatangan Obama seperti halnya waktu kedatangan Bush, justru yang menonjol adalah liputan tentang dukungan dan perasaan gembira masyarakat Indonesia atas kedatangan presiden ke-44 AS itu. Hal ini juga dipengaruhi oleh latar belakang hidup Obama yang pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia juga beredarah muslim, seolah ada suasana kebatinan antara masyarakat Indonesia dengan Obama.

Memang, kurang komprehensif bila harapan perubahan itu muncul dari perspektif latar belakang kehidupan Obama yang berdarah muslim dan pernah tinggal di Indonesia. Kita perlu melihat lebih luas lagi faktor dan fakta apa sehingga kita sebagai bagian dari masyarakat muslim dunia, memberi harapan positif kepada Obama terhadap kebijakannya mengenai hubungan barat dengan Islam. Percaturan politik kawasan timur tengah rasanya hingga kini masih ada yang mengganjal, blokade Israel atas jalur gaza, pembangunan ilegal pemukiman yahudi di tanah palestina masih berlangsung, tapi ada perkembangan baik di kawasan itu, kekuatan revolusioner Islam di Iran yang dipimpin Akhmadinejad yang dulu dianggap poros “setan”, oleh Bush, sudah mulai membuka hati terhadap Obama, ada proses mediasi karena pertimbangan perubahan arah kebijakan politik luar negeri oleh Obama. Apalagi survei di 11 negara Arab pada tahun 2008, ada peningkatan tingkat penerimaan masyarakat Arab terhhadap kepemimpinan baru Obama setelah Bush. Fakta-fakta ini harus menjadi perbandingan supaya lebih proporsional dalam memberikan harapan baru terhadap Obama.

Salah satu poin penting ketika menagih janji terhadap Obama adalah pernyataannya mengenai hubungan Islam dengan barat dalam pidatonya, "Kepada dunia Muslim,kami menharapkan cara-cara baru hubungan ke depan,berdasarkan kepentingan bersama dan prinsip saling menghormati". Itulah poin penting komitmen Obama yang berani merubah kebijakan luar negeri negaranya, pendekatan militer, harus dirubah dengan pendeketan diplomasi. Memang, komitmen tersebut perlu kita analisa dari berbagai faktor. Faktor dari dalam negerinya juga menjadi bahan pertimbangan gerak langkah Obama dalam menepati komitmennya itu. Dari sisi kelembagaan negara AS, sejauh mana dinamika politik di parlemen AS. Ini menjadi bumerang manakala komposisi parlemen didominasi oleh kelompok-kelompok yang masih meyakini Islam sebagai ancaman terbesar kedigdayaan AS yang menggunakan tesisnya Hutington sebagai referensi. Ini juga berlaku pada kondisi di partainya sendiri, Demokrat. Demokrat, walaupun tidak se-konservatif partai Republik, tetap saja ada potensi dimana lobi-lobi dalam internal partai dari kelompok-kelompok penganut teori benturan peradaban masih kuat, dan dapat mempengaruhi komitmen Obama. Sebagai pemenang Nobel Perdamaian pada tahun 2009 dimana salah satu pertimbangan pemberian Nobel itu karena keberhasilan Obama dalam menciptakan hubungan baru dengan dunia Islam, tentunya kita percaya, sejauh ini Obama masih konsisten dengan komitmennya, dan harapan baru itu hingga saat masih ada.

Kita berharap, selamanya Obama akan tetap konsisten menjalankan komitmennya untuk merivisi kembali kebijakan dan strategi politik luar negeri Bush. Tesisnya Samuel Hutington semoga tidak menjadi pertimbangan untuk dijadikan resep dalam menjalankan politik luar negerinya terhadap dunia dan negara-negara Islam. Masyarakat muslim dunia, khususnya di Indonesia disisi lain menaruh harapan positiv terhadap kepemimpinan Obama, tapi harus jeli melihat perkembangan kebijakan luar negeri Obama, banyak faktor yang mempengaruhinya.

Kembali Pada Persoalan Rakyat



Oleh: Rino Sundawa Putra

Panggung politik nasional kembali di sibukan dan dikuras energinya tentang persoalan yang tidak subtansial. Pagi hari, siang hari, sore hari bahkan malam hari sebuah media televisi nasional tampak begitu “asyik” mendiskusikan wacana reshuffle beberapa Menteri dalam Kabinet Pemerintahan Koalisi Indonesia Bersatu Jilid dua. Beberapa politisi dari tiga partai politik yang menjadi episentrum koalisi (Demokrat, Golkar, PKS) mengumbar argumen dari pandangan masing-masing yang kemudian mengkerucut pada tema besar perdebatan, Koalisi dan Oposisi. Penulis mulai menemui titik jenuh ketika setiap hari menyaksikan diskusi dan perdebatan tentang wacana reshuffle, jenuh karena diskusi dan perdebatan tersebut tidak pernah menyentuh persoalan pokok yang dihadapi oleh rakyat sekarang ini, yang ada hanya diskusi dan perdebatan mengenai komposisi kekuasaan yang akan dibongkar pasang, pertanyaannya adalah, apakah ada korelasi riil antara bongkar pasang Menteri dengan akselerasi kinerja pemerintah dalam menyelesaikan persoalan bangsa?

Apa sebetulnya kaitannya antara beberapa politisi dari beberapa partai yang mengusulkan angket pajak di DPR dengan posisi Menteri, apakah SBY dan Demokrat sebagai pemegang legitimasi terbesar karena memiliki suara mayoritas dalam Pemilu menganggap suara-suara kritis di parlemen sebagai kelompok (Partai) yang mempunyai potensi ancaman dalam merongrong kekuasaan, bukankan dalam oposisi juga perlu adanya chek and balance. Anggota koalisi tidak semestinya menjadi kekuatan yang mau dicocok hidungnya. Terlepas dari kalkulasi politik,, bargaining politik sesama anggota koalisi mutlak diperlukan, apalagi bagi Golkar sebagai kekuatan terbesar kedua setelah Demokrat, tetapi bargaining tersebut harus menggunakan prinsip yang bersifat korektif yang murni berdasarkan kemauan dalam membenahi kebijakan yang menguntungkan rakyat, bukan bargaining pragmatis yang berprinsip pada logika kekuasaan “siapa mendapat apa”. Tetapi sejauh ini penulis cukup skeptis, bahwa proses bargaining anggota koalisi pasca isu reshuffle ini lebih didasarkan pada logika kekuasaan, ada keengganan dan tawar menawar supaya Menteri-Menterinya tetap bertahan, dan inilah yang kemudian membuat alotnya keputusan reshuffle oleh presiden SBY.

Dalam konteks ini apa sebetulnya makna koalisi dalam sebuah kekuasaan yang dibangun, apakah makna koalisi hanya sebatas alat “pengamanan” atau “bodyguard” untuk memperkokoh kekuasaan yang dibangun, atau koalisi dimaknai sebagai sarana menghimpun kekuatan dalam pilar demokrasi sebagai sarana dalam menyelesaikan persoalan bangsa?. Ketika gagalnya angket mafia pajak yang digadang beberapa politisi dari partai anggota koalisi, Golkar dan PKS menjadi atau dijadikan indikator untuk mememetakan mana sebetulnya partai yang “loyal” dalam frame koalisi dimana Sekertariat Gabungan yang menjadi formulasinya, dan mana partai angggota koalisi yang merongrong kekuasaan, maka nalar logis dari logika kekuasaan akan berbicara, artinya hukum kekuasaan yang menyatakan “siapa mendapat apa” masih menjadi pijakan kuat. Wajarkah berbicara logika politik dalam ruang politik formal negara?. Jawabannya sangat wajar-wajar selama itu tidak menjadi konsentrasi para elite sehingga membiaskan tugas, fungsi dan tujuan yang sebenarnya, tugas dan fungsi yang terkonsentrasi untuk betul-betul bekerja menguras tenaga dan pikiran dalam menghadapi persoalan bangsa yang ada dalam Kementrian masing-masing. Bila makna oposisi dipahami sebagai orientasi kekuasaan daripada orientasi pada tugas, fungsi dan tujuan maka negara ini dibangun bukan berdasarkan niat baik untuk mau mengabdikan diri sebagai agen perubahan bangsa, melainkan semata-mata hanya ingin menjadi bagian segelintir elite penguasa yang diberi segala fasilitas oleh negara.

Sebetulnya, sudut pandang kita bila ingin memahami sistem ketatanegaraan secara holistik, makna koalisi dan oposisi jangan dianggap sebagai dua alat yang terpisahkan oleh jurang definisi yang berbeda dimana koalisi sebagai bagian dari pemerintah dan oposisi sebagai kelompok “pembantah” diluar pemerintah, tetapi koalisi dan oposisi harus dimaknai sebagai satu mekanisme alat dalam sistem ketatanegaraan yang sama-sama bekerja untuk kepentingan bangsa. Artinya alangkah tidak “elok” (mengutip istilah para politisi senayan) bila wacana, diskusi bahkan perdebatan mengenai reshuffle ini begitu menguras energi elite dan publik. Koalisi dan oposisi tidak ada artinya sama sekali untuk rakyat bila kedua alat ini tidak betul-betul bekerja dengan penuh ketulusan untuk memperbaiki kehidupan bangsa, dan tidak pernah menyentuh ujung subtansi sama sekali bila para elite politik terus-terusan “ribut” memperebutkan sepotong “kue” kekuasaan yang harus dibagikan.
Bisa dibayangkan ketika para elite politik sedang sibuk mempersoalkan posisi menteri, disisi lain sebagian besar rakyat kita berjibaku dengan persoalan-persoalan hidup yang semakin lama semakin sulit, apa yang kemudian bisa dibayangkan oleh rakyat adalah kelompok elite politik yang tidak pernah peka terhadap persoalan yang dihadapi oleh rakyatnya, dan dititik itulah pemerintah sebetulnya sudah kehilangan legitimasinya karena sudah kehilangan kepercayaan dari rakyat. Untuk itulah, elite politik harus segera mengakhiri polemik ini, kembalilah dan konsentrasilah pada persoalan-persoalan rakyat yang sesungguhnya, persoalan kemiskinan, kesenjangan ekonomi dan sosial, masalah kenaikan bahan pangan, distribusi BBM, pendidikan, persoalan hukum, susu berbakteri, masalah transportasi dan segudang persoalan rakyat yang rill yang masih menanti untuk diselesaikan, dan media tentunya punya posisi sentral dalam menggiring isu-isu tersebut, bila media terus-terusan menggulirkan isu atau berita polemik reshuffle, secara tidak langsung media juga ikut andil dalam mengesampingkan isu-isu persoalan rakyat yang sesungguhnya. Dominasi informasi yang diberikan oleh media bila tidak punya pengaruh apa-apa terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka media tersebut sudah mengingkari jati dirinya sebagai pilar keempat demokrasi.

Rakyat sudah berada dalam titik jenuh ketika harus dipaksa melihat dagelan politik yang ujung-ujungnya hanya bargaining pragmatis dan bagi-bagi kekuasaan. Kasus Century sudah secara gamblang menjelaskan bahwa hukum hanya menjadi “mainan” dan “alat’ untuk berebut posisi. DPR sudah terlanjur menelanjangi dirinya sendiri sebagai lembaga politik vulgar yang menjadi arena pertarungan politik dalam memperebutkan kekuasaan, dan arena ini sudah secara gamblang dipertontonkan secara live oleh media.

Marilah kita sudahi polemik yang tidak berarti apa-apa ini bagi rakyat. Elit-elit politik, Pemerintah, Partai koalisi, Partai oposisi dan media harus menghentikan ini, dan kembali kembali kepada persoalan rakyat.