Ada “gunjingan” bahkan perdebatan yang menurut saya setengah serius dan setengah menggelikan. Dianggap serius karena memang isu tersebut telah diseret ke ranah birokratisasi yang dikelola sebagai produk hukum, baik itu hukum yang sifatnya formalistik Negara atau hukum sosial budaya yang sifatnya informal (tercipta dengan pranata nilai sosial dalam sebuah komunitas masyarakat tertentu), bahkan diangkat berdasarkan keyakinan dan legitimasi agama. Tapi sebetulnya bisa juga diangap menggelikan, karena gunjingan dan perdebatan itu secara telanjang mengangkat prilaku syahwat dan nafsu birahi manusia.
Ya.. itulah poligami. Disini saya tidak perlu mendefiniskan panjang lebar mengenai poligami, toh semua orang bisa mendefinisikan sendiri apa itu poligami (sesuai cara pandang dan perspektif masing, bahkan kepentingan masing-masing). Bagi pelaku poligami klaim-klaim berdasarkan legitimasi agama menjadi senjata ampuh untuk menangkis serangan, bagai bom atom yang menggempur Hiroshima dan Nagasaki, “daripada jinah” (hah.. tameng yang klise). Bagi para penentangnya, prilaku poligami tidak lebih sebagai prilaku yang tidak menempatkan wanita sebagai manusia, dimana laki-laki dianggap sebagai kaum yang dominan, tentunya rasa keadilan wanita telah terkoyak dengan prilaku ini (apalagi dalam perspektif gender).
Konon katanya, prilaku poligami ini sangat berpengaruh terhadap psikologis laki-laki. Laki-laki yang melakukan poligami menganggap dirinya sebagai lelaki sejati yang bisa menaklukan beberapa wanita dan menambah rasa percaya diri, apalagi laki-laki pelaku poligami dapat menunjukan eksistensinya sebagai orang kaya karena dalam beberapa budaya di Indonesia (mungkin lebih spesifik jawa dan sunda) memiliki lebih dari satu istri adalah lambang kemakmuran. Masuk akal memang, karena memiliki lebih dari satu istri tentunya pengeluaran ekstra untuk menafkahinya. Bagi orang sunda, sering sekali terlontar dari obrolan warung kopi, “mun loba duit mah hayang nyandung urang teh”. Bahkan raja-raja jawa memiliki kepercayaan bahwa simbol-simbol kekuasaan yang absolut adalah memiliki banyak selir.
Begitu juga dengan kawin kontrak atau nikah sirih, kabar terbaru mengenai isu bahkan fenomena ini adalah adanya Rancangan Undang-Undang dimana pelaku nikah sirih dapat dijerat dengan pasal-pasal pidana. Tapi saya melihat pendekatan dan argumen-argumen lahirnya RUU ini lebih kepada aspek tertib administrasi dan pencatatan di KUA. Tidak subtansi memang dan terkesan birokratis, lebih masuk akal ketika ada yang menggunakan pendekatan mengenai masa depan perempuan dan anak yang dihasilkan, sebab pernikahan sirih tidak pernah mengenal apa itu harta gono-gini ataupun hak waris.
Sebelum saya menerangkan bagaimana korelasinya dengan bisnis esek-esek, rasanya lebih baik saya menyatakan pendapat terlebih dahulu mengenai apa yang melatarbelakangi ini semua. Kenapa dari poligami dan nikah sirih, kaum laki-laki terkesan kaum yang superior dan dominan, sehingga dengan mudahnya dapat menaklukan wanita (seperti Hitler yang menganggap ras arya sebagai ras yang paling unggul dan ambisi zionis Yahudi yang ingin menaklukan semua bangsa). Saya percaya persoalan yang paling mendasar ada pada hasrat biologis laki-laki, atau lebih vulgarnya nafsu birahi atau syahwat. Dalam berbagai perdebatan seputar poligami dan kawin kontrak, sering kali laki-laki dianggap sebagai “biang” masalah (api dari asap poligami dan nikah sirih). Bagi saya pendapat ini memang ada benarnya juga, tapi saya mencoba membatasi dari kodrat biologis dan kecendrungan prilaku seks yang diberikan Alloh SWT kepada laki-laki.
Untuk referensi argument saya, saya kutip tesisnya Francis Fukuyama dalam buku yang berjudul Guncangan Besar. Dalam bukunya, Fukuyama mencoba menjelaskan modal sosial yang terbentuk sebagai dasar terciptanya ketertiban atau kemapanan sosial yang lahir dari rahim kapitalisme . Menurut Fukuyama salah satu indikator kemapanan sosial tersebut salah satunya lahir dari sebuah ikatan keluarga, antara ibu, ayah dan anak (tapi saya tidak akan menjelaskan secara komprehensif korelasi ini dengan kesimpulan bukunya Fukuyama, melainkan salah satu aspek yang mendukung tulisan ini).
Francais percaya, bahwa perilaku seks laki-laki, selain dipengaruhi oleh faktor biologis, juga dipengaruhi oleh keadaan sosial yang akan membentuk prilaku dorongan yang lain selain dari faktor biologisnya. Fukuyama mengambil kesimpulan dari ahli biologi bernama Robert Trivers, menurut Trivers : dalam sebagian besar spesies, betina sangat pemilih dalam urusan pasangan seks, sementara jantan tidaklah terlalu pemilih. Betina biasanya dirayu oleh banyak jantan dan ia menolak semuanya kecuali satu atau beberapa diantaranya. Pilihan ini sama sekali tidak sembarangan. Dalam penelitian lapangan dimanapun, mengenai cara betina memilih pasangannya, jelas sekali tampak bahwa betina memilih pasangannya dengan cara yang khas. Sebagian besar betina dalam satu spesies memilih dengan cara yang sama, sehingga hasil pilihannya ialah sejumlah kecil jantan yang mendapat banyak kesempatan untuk berhubungan kelamin dengannya. Sebaliknya jantan merayu banyak betina dan berhubungan kelamin dengan sebagian besar atau semua Betina jika diterima.
Merujuk penelitian Trivers, Fukuyama kemudian berpandangan lelaki pada dasarnya mempunyai pembawaan biologis lebih suka berganti-ganti pasangan dan tidak terlalu pemilih dibandingkan dengan perempuan dalam mencari kepuasan seks. Hal ini merupakan konsumen utama industri esek-esek (prostitusi dan pornografi) (Francais Fukuyama, 1999 : 120).
Kemudian peran laki-laki secara biologis terpusat pada penyediaan sumber daya bagi perempuan dan anak-anak, jelas hal ini merupakan sebuah hukum lintas agama dibelahan dunia manapun, dimana peran laki-laki ketika dia memutuskan untuk menjalin ikatan biologis dan psikologis dalam sebuah komitmen pernikahan, laki-laki harus siap “tempur” memberikan asupan sumber-sumber (sandang, pangan, papan dan pendidikan untuk anak-anaknya), “tanggung jawab” adalah kata yang simple yang lazim dikatakan oleh lidah orang Indonesia.
Namun biologi juga menunjukan peranan rapuh dan goyah, sejauh mana lelaki akan hidup dengan pasangannya dan tetap berperan aktif dalam membesarkan anak-anaknya, tidak bergantung pada naluri dan hasrat melainkan dari jenis-jenis norma-norma sosial, sanksi, adat istiadat dan hukuman atau tekanan dari masyarakat sebagai mahkluk sosial. (Francais Fukuyama, 1999 : 121). Artinya aturan-aturan formal dan normal yang terbentuk berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma sosial, adat istiadat dan budaya yang memproduksi kesan “sanksi” atau “gunjingan” bagi laki-laki yang kedapatan melakukan selingkuh, nikah siri, kumpul kebo misalnya, atau poligami.
Menurut Fukuyama, sebagian masyarakat mencipatakan aturan (baik itu hasil pranata sosial, budaya dan adat istiadat : mas kawin. Atau hukum formal : KUA, buku nikah) yang berbelit-belit untuk mengikat pasangan begitu mereka menikah. Aturan-aturan ini menurut Fukuyama mencerminkan bahwa ikatan yang dibangun oleh laki-laki dengan perempuan sebetulnya sangatlah rapuh, sehingga manusia menciptakan sanksi untuk “mengintervensi” dan meminimalisir watak hasrat seks laki-laki.
Beberapa pertanyaan besar kemudian lahir dari uraian diatas, apakah kemudian industri seks (pornografi : media cetak, film porno dan situs-situs porno juga prostitusi) yang memancing gelagat hasrat seks laki-laki yang semakin menggila sekarang ini, atau industri seks yang memahami dan selalu tajam menilai bahwa hasrat laki-laki memang sangat besar untuk dieksploitasi. Pertanyaan ini sangat penting karena mencari sebab akibat yang mungkin akan mengkritisi sebuah hal yang dianggap sebagai sebuah kebenaran absolute (telur dulu ayam dulu). Bila jawaban mengarah kepada industri seks yang membangkitkan gelagat prilaku seks laki-laki yang semakin menggila, maka kita harus acungi jempol dan dukung kepada kelompok-kelompok (pemerintah atau non pemerintah) yang gencar untuk membasmi pornografi dan prostitusi. Tapi bila jawabannya adalah industri seks yang sangat jeli untuk mengekspolitasi hasrat laki-laki yang memang begitu besar maka ini akan kembali menimbulkan pertanyaan baru. Apakah bila semua lini industri seks ditutup total, apakah poligami, nikah siri atau kawin kontrak juga akan dapat menurun atau hilang sama sekali, artinya seorang laki-laki akan terus membina satu keluarga dan komitmen kuat untuk terus berkumpul bersama satu istri dan beberapa anak? Bahkan tidak ada lagi pria-pria arab yang menikahi kontrak wanita-wanita dengan segala fasilitasnya didaerah lembang dan cianjur? Akankah lokalisasi yang selama ini memutarkan omset milyaran rupiah (dolly di surabaya misalnya) akan gulung tikar? Inilah beberapa pertanyaan besarnya? Semoga ada yang bisa menjawab..
Memang argumentasi ini bertitik tolak dalam kerangka logis dan rasional yang bertumpu pada kodrat ilmu modern biologi laki-laki, tapi pendekatan-pendekatan moral dan agama juga sangat perlu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas (karena saya bukan seorang atheis atau liberalis tulen). Menggunakan pendekatan pendekatan moral jelas akan berbicara mengenai hukum-hukum agama. Iman dan keyakinan kepada hukum-hukum agama, iman yang murni yang betul-betul lahir dari keyakinan terdalam manusia dalam mencari pegangan hidup, ketaatan dalam mencari keselamatan. Berbicara moral dalam konteks ini sangatlah rumit juga sedikit membingungkan, dan saya tentunya harus belajar banyak ilmu-ilmunya. Seperti kawin kontrak, betul halal secara moral dan agama (saya yakini sebagai umat Islam), tapi apakah dampak yang ditimbulkannya juga dapat diterima secara moral? Apa yang terjadi dengan masa depan wanita dan anak-anaknya yang lahir dari praktek nikah sirih para pria arab di lembang? Karena secara moral dan logikanya Fukuyama, ini berarti pengabaian terhadap komitmen untuk terus berkumpul dan menafkahi istri dan anak-anaknya. Nikah siri berarti apa yang disebutkan oleh Fukuyama sebagai kerapuhan dimana laki-laki menjadi biang keladinya karena mencoba melepaskan komitmen dan tanggung jawab dan lebih memilih hasratnya ketimbang sanksi-sanksi sosial, adat istiadat dan budaya. Apakah praktek poligami dan nikah siri punya sanksi sosial yang harus dipertanggung jawabkan didepan komunitas-komunitas sosial atau masyarakat yang ada?
Hanya bisa menulis dan menulis. Hati, pikiran dan jari jemariku seolah terkoordinasi dalam memuntahkan isi kepala ini. Hati, pikiran dan jari-jemari ini lebih bisa berkoordinasi dalam satu kesatuan dibanding hati, pikiran dan mulut untuk merangkai kata demi kata. Dan.. rokok bagai kayu bakar yang terus mensuplai energi untuk mesin uap, mesin yang mengkoordinasikan hati, pikiran dan jari-jemari ini untuk terus menulis.
BERBAGI UNTUK SALING MENCERAHKAN..
Apakah dunia maya se-fana dunia nyata?
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar