BERBAGI UNTUK SALING MENCERAHKAN..

Apakah dunia maya se-fana dunia nyata?
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..

Rabu, 28 Desember 2011

Alasan Klasik Pembangunan Mall

Rino Sundawa Putra

Rencana Pemerintah Kabupaten Ciamis dan Banjar yang akan membangun pusat perbelanjaan dibekas lahan Gedung Bioskop Pusaka (Radar edisi Rabu 16/11) menjadi ironi tersendiri bagi komitmen Pemerintah Kabupaten Ciamis yang ingin menggerakan roda ekonomi yang berbasis pada peningkatan sektor rill, dimana dalam pidato paripurna digaris bawahi mengenai kebijakan ekonomi yang bersifat pro poor dan pro growth. Hal ini jelas menimbulkan kesan tidak adanya konsistensi dari pemerintah mengenai apa yang terucap dan apa yang dilakukan.

Bila pemerintah Kabupaten Ciamis ingin mengedepankan kebijakan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat menengah ke bawah (pro poor), rencana pembangunan Mall jelas menjadi hal yang sangat kontradiktif, karena akan terjadi benturan dua kepentingan ekonomi, yakni kepentingan pelaku ekonomi masyarakat kelas menengah kebawah (industri kecil, UMKM, perajin, home industry, pedagang kecil, pedagang eceran) dan kepentingan pelaku ekonomi raksasa yang padat modal (investor, korporasi, jaringan retail besar).

Dalam ilmu ekonomi, pasar merupakan arena kompetisi dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi, bila menguasai pasar maka akan menguasai sumber-sumber ekonomi. Itulah hukum ekonomi yang berlaku, apalagi bangsa kita sudah menganut sistem ekonomi kapitalis bahkan sudah bergeser pada sistem ekonomi neo-liberal dimana hukum alam yang terjadi adalah siapa yang memiliki modal, akses/jaringan, SDM dan media promosi yang kuat maka dialah yang akan memenangkan kompetisi ekonomi. Artinya, bila pemerintah masih “kekeuh” pada rencana pembangunan Mall maka secara tidak langung pemerintah memberi peluang kemenangan para pelaku ekonomi raksasa memenangi dan menguasai kompetisi ekonomi, dan dampaknya adalah tersingkirnya roda perekonomian kaum menengah kebawah karena tergilas hukum ekonomi kapitalis, dan lagi-lagi para pemilik modal kuatlah yang akan menjadi pemenang.

Bila persaingan ekonomi sudah dimenangkan oleh kaum pemilik modal, maka tidak akan terjadi sirkulasi ekonomi diwilayah Ciamis. Sirkulasi ekonomi adalah kunci bagi pemerataan pendapatan karena modal/keuntungan tidak terakumulasi pada satu kelompok, melainkan tersebar merata. Hal ini disebabkan karena basis utama para pelaku industri kecil, UMKM, perajin, home industry, pedagang kecil adalah masyarakat itu sendiri (sektor riil) dan logika ekonominya adalah modal/keuntungan ekonomi akan dibelanjakan kembali di daerah tersebut dengan proses transaksi jual beli yang terus berputar. Tapi bila kaum pemilik modal yang notabenenya berasal dari investor asing seperti Giant yang menguasai, maka akumulasi modal/keuntungan akan bertumpuk pada satu kelompok saja, dan lebih parahnya akumulasi modal/keuntungan akan dibawa keluar daerah, karena investasi modal mereka tidak hanya berada pada satu titik daerah, melainkan jaringan yang tersebar diberbagai daerah bahkan luar negeri. Ini mengakibatkan semakin lama perputaran uang disuatu daerah akan semakin kecil.

Kebijakan mengundang investor besar/asing untuk membangun pusat-pusat ekonomi (Mall) memang menjadi dilema tersendiri bagi kebanyakan daerah, apalagi bagi daerah yang miskin sumber daya alamnya. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), mendongkrak, menggeliatkan ekonomi dan perluasan lapangan pekerjaan menjadi alasan klasik mengapa daerah dengan mudah memberikan izin pembangunan Mall, apalagi sudah terjadi “perselingkuhan” antara politisi, pejabat dan pengusaha. Kebijakan yang sifatnya pragmatis tersebut memang berawal dari sempitnya paradigma atau pola pikir pemerintah daerah mengenai indikator pembangunan ekonomi wilayahnya. Kebanyakan pemerintah daerah selalu menjadikan investasi yang berwujud fisik seperti pembangunan Mall, Karaoke, tempat wisata, Kafe, Hotel sebagai indikator kemajuan ekonomi, padahal pembangunan sarana-sarana tersebut tidak mewakili kepentingan pelaku ekonomi masyarakat menengah ke bawah yang menjadi mayoritas. Secara makro dan mikro indikator tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kemajuan ekonomi suatu daearah.

Dalam konteks ekonomi politik, kegiatan ekonomi merupakan jalan untuk memahami kehendak masyarakat dengan menggunakan instrumen kebijakan pemerintah, maka sebaiknya pemerintah Ciamis berpikir ulang dan mengkaji ulang kembali mengenai rencana pembangunan Mall tersebut, jangan sampai rencana tersebut tidak seiring sejalan dengan aspirasi masyarakat, apalagi berbenturan dengan kehendak ekonomi masyarakat. Justru yang harus dipikirkan adalah bagaimana caranya pemerintah bisa memfasilitasi dan memperkuat baik modal, jaringan dan SDM para pelaku industri kecil, UMKM, perajin, home industry, pedagang kecil supaya bisa melakukan ekspansi pasar ke daerah lain atau bahkan negara lain dan bisa bersaing dengan pengusaha yang padat modal (Investor) mengingat Kabupaten Ciamis memiliki banyak produk-produk baik itu produk olahan makanan atau kerajinan yang dihasilkan oleh para pelaku industri kecil, UMKM, perajin, dan home industry.

Jumat, 21 Oktober 2011

Kenapa Tidak Percaya Partai? Sudah Saatnya Kita Percaya...! (Renungan Seorang Kader Muda)

Sekarang ini banyak orang yang antipati, pesimisitis ketika berbicara partai politik. sebetulnya kalau kita mau sedikit bijak memahami apa itu partai politik, kita masih punya kesempatan untuk berpikir positif terhadap keberadaan partai politik.

Saya mencoba jelaskan melalui dua pandangan. yg pertama pandangan historis/akademis/teoritis dan kedua pandangan pribadi saya mengenai parpol. Pandangan pertama mengacu pada struktur kekuasaan yg mau tidak mau harus melalui mekanisme parpol sebagai kendaraan. Dalam Al-Quran telah dijelaskan bahwa manusia dicipatakan oleh Alloh SWT bersuku2 dan berbangsa-bangsa, dan sejarah telah mencatat bagaimana struktur kekuasaan sosial dibentuk. Sejak struktur kekuasaan/peradaban madinah dibentuk oleh Nabi Muhamammad SAW (Piagam Madinah), manusia telah diajarkan untuk memilih pemimpin dalam sebuah teritori tertentu. Nabi mempunyai peran ganda dalam kepemimpinannya, yaitu kepemimpinan agama sebagai manusia yg ditunjuk dan diberi wahyu oleh Alloh untuk menyebarkan Islam, sekaligus juga pemimpin sosial (duniawi) sebagai pengambil kebijakan tertinggi pada era madinah (pemimpin politik/siasah). Setelah nabi wafat, sistem kekuasaan beralih kepada pola kekhalifahan (khulafa al-rasyidin), sahabat-sahabat Nabi yang menjadi estafet kepemimpinan Nabi. Setelah era kekhalifahan selesai, maka struktur kekuasaan beralih kepada sistem kesultanan, dan tiga sistem ini sebagai bukti sejarah kejayaan Islam pada masa itu. Tetapi setelah sistem kesultanan hancur yg ditandai hancurnya kesultanan Turki Utsmani (sebagai tanda hancurnya kejayaan sistem kekuasaan Islam), kemudian digantikan oleh struktur kekuasaan negara bangsa, maka sejak saat itulah sistem penjajahan/kolonialisme merebak ke seantareo dunia, dimana negara-negara kuat menginvasi secara militer sebuah wilayah kemudian menduduki, menjajah guna disedot sumber-sumber ekonominya dan memperbudak rakyatnya, termasuk penjajahan yg dialami oleh Indonesia.
Setelah sistem kekuasaan kolonialisme hancur seiring dideklarasikannya kemerdekaan bangsa-bangsa yg dulu terjajah, maka dititik itulah mulai masuk pada sistem kekuasaan modern dimana sistem demokrasi/kepartaian mulai dicoba. Seperti halnya di Indonesia, tumbuh suburnya partai politik baik itu yg beraliran agama/religius, nasionalis bahkan komunis setelah Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan RI, menandakan Indonesia telah memasukai babak baru struktur kekuasaan demokrasi, dimulai dari demokrasi parlementer, terpimpin dan sekarang memasuki sistem demokrasi liberal. Penjelasan secara historis mengenai perubahan-perubahan struktur kekuasaan diatas, menggambarkan bahwa pada dasarnya eksistensuimanusia yg berada pada wilayah tertentu selalu ditopang oleh sistem kekuasaan/politik yg berlaku dari masa ke masa, jadi sangat mustahil bila manusia menghindari proses perebutan kekuasaan dalam suatu wilayah guna menentukan seorang pemimpin.

Dalam sistem kekuasaan modern sekarang ini, partai politik merupakan sarana yg bisa menghantarkan pada sumber kekuasaan.
Partai politik dibekali dengan ideologi/visi-misi yg membawa idealisme tertentu. Ideologi sebagai alat dalam meraih tujuan bersama yaitu kesejahteraan manusia-manusia yg mendiami suatu teritori. Bila partai itu tersebut mengantongi suara mayoritas dalam sebuah pemilihan, maka kebijakan yg dihasilkan merupakan representasi dari ideologi partai tersebut. Sebut saja partai yg berideologi/azas Islam/religius, tentunya yg dicita-citakan kemudian diejawantahkan dalam sebuah kebijakan bila partai ini meraih suara mayoritas adalah hal-hal yang bersifat Islami, seperti penegakan syariat Islam misalnya. Atau partai yg berahaluan sosialis, dengan idealisme sosialisme dimana, cita-cita besarnya adalah menegakan sistem ekonomi yg berbasis pada gerakan buruh dan rakyat dengan mengedepankan pengelolaan sumber ekonomi nasional untuk kepentingan masyarakat Indonesia daripada kepentingan pemodal besar/investasi asing. Kita bisa lihat sekarang ini, Kebijakan ekonomi liberal sekarang ini merupakan representasi ideologi ekonomi partai Demokrat .Tapi sayanganya, partai-partai sekarang ini di Indonesia, ideologi partai hanya sebatas bahan hapalan saja. Orientasi kekuasaan, memabukan para elit partai sehingga lupa akan ideologi dan idealism partai. Dan hal ini sebagai sumber utama kenapa hampir mayoritas rakyat Indoensia begitu antipati dan skeptis memandang partai politik.

Tapi terlepas dari itu semua, bagi mereka yg masih memahami arti politik, kekuasaan dan partai politik secara bijak, akan kembali berpikir bahwa partai politik adalah satu-satunya lembaga yg bisa membentuk struktur kekuasaan kemudian struktur kekuasaan akan membentuk struktur pemerintahan dan struktur pemerintahan akan membentuk sebuah kebijakan. Artinya perubahan ini negeri bisa diraih dengan jalan menggunakan kendaraan partai politik, dimana kendaraan partai ini cost-nya lebih kecil ketimbang revolusi sosial yang sekarang ini terjadi di Mesir atau Libya, dimana perlu banyak darah yg mengalir. ada sebuah pertanyaan, bagaimana merubah negeri ini segala keterpurukan? Jawabannya ada 2, ganti sistem atau ganti rezim, ganti sistem memerlukan cost ya besar, sama halnya dengan revolusi, tapi ganti rezim kita hanya butuh satu partai yg bener, punya komitmen dalam memperjuangkan ideologinya. Jadi tidak salah kalau kita masih mempercayai partai politik.

Dulu saya juga sama, skeptis dan muak sekali kepada partai politik. Tapi, saya coba berpikir bijak seperti gambaran diatas. Dari hasil perenungan saya, tibalah pada sebuah penantian, penantian akan hadirnya partai politik yg “bener”, yg mempunyai kekuatan dalam memperjuangkan komitmen guna membawa rakyat pada keadaan yg sejahtera. Jauh sebelum perenungan ini, saya memang pengagum pidato-pidatonya Surya Paloh sama halnya seperti saya mengagumi orator ulung Soekarno. Pidatonya Surya Paloh begitu menelisik hati nurani saya, terlebih ketika dia berpidato mengenai intervensi asing, pengusaan sumber-sumber ekonomi oleh asing, kedaulatan NKRI, liberalisasi ekonomi yg berdampak pada kemisikinan mayoritas dan kegelisahannya atas penjajahan babak baru di negeri ini serta beberapa tema yg mengguah rasa nasionalisme. Ada hal yg saling berkaitan disini, Surya Paloh mengagumi Soekarno atas keberaniannya melawan intervensi asing, saya juga mengagumi Soekarno karena hal diatas, dan sekarang saya mengagumi Surya Paloh karena bagi saya, Surya Paloh adalah tokoh yg masih punya idealisme, trah idealis Soekarno telah menular padanya.
Apa itu Partai NasDem? Partai NasDem adalah sama halnya seperti partai yg lain, punya ideologi, idealism, visi dan misi. Partai NasDem lahir dari buah kegelisahan dan pemikiran Surya Paloh mengenai tata kelola negeri ini yg masih “menete” pada dominasi asing. Restorasi! Itulah gagasan besarnya. Apa itu restorasi? Restorasi adalah gerakan perubahan multi dimensi. Jepanga bangkit dari negara kekaisaran/ tradisional menjadi negara industri dan negara penghasil teknologi, merupakan buah dari gerakan restorasi meiji. Restorasi partai NasDem bertumpu pada 3 pilar : Restorasi ekonomi, Restorasi Politik dan Restorasi Budaya. Saya jelaskan satu pilar saja. Restorasi ekonomi diawali dengan kegelisahan Surya Paloh mengenai penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh korporat-korporat asing seperti air oleh danone, emas oleh Freepor ataupun minyak bumi oleh Shell dan segudang sumber-sumber ekonomi Indonesia yg pada prakteknya dikuasai oleh korporasi asing, mini market/perdagangan retail, perbankan, industri, jasa, manufaktur, finance, dll. Garis besar dari restorasi ekonomi adalah : KEMBALIKAN SUMBER-SUMBER EKONOMI YG PENTING UNTUK DIKELOLA OLEH RAKYAT (NASIONALISASI) GUNA MERAIH KEMBALI KEDAULATAN EKONOMI INDONESIA.

Nah.. kalau masalah ikhlas atau tidak, itu masalah personal dan dikembalikan pada masing-masing individu (kader-kader partai). Mau amanah atau tidak, ikhlas atau tidak bekerja untuk menggolkan cita-cita partai, dan ikhlas tidak bekerja dalam meyalurkan dana partai untuk kepentingan rakyat. Kalau sudah seperti itu, sudah masuk pada porsi masing-masing, artinya pahala atau dosanya yg tanggung adalah masing-masing. salam Restorasi!

Kamis, 22 September 2011

GESEKAN BIOLA KEHIDUPAN…


GESEKAN BIOLA KEHIDUPAN…

MAINKANKANLAH NADA ITU DENGAN MENDAYU-DAYU…
PELAN MELANTUN DALAM GESEKAN-GESEKAN PANJANG YANG TENANG…
NADA-NADA DALAM SIMPONI TAK SALING BERSAHUTAN, TAPI LENGKINGANNYA MAMPU MEMBERIKAN PENDENGARNYA IMAJI POSITIF YANG MENDAYU-MENDAYU..
RITME-RITME MELANKOLIS MEMBAWA RODA KEHIDUPAN DALAM HAL PASTI, YAKIN DAN TERARAH..
GESEKAN BIOLA MAMPU MENGGAMBARKAN RITME DAN NADA KEHIDUPAN SESEORANG..
GESEKAN KEHIDUPAN BAGAIKAN GESEKAN BIOLA SANG PEMAIN, TERGANTUNG IRAMA APA YANG DIA MAINKAN…
MELENGKING DENGAN PENDEK, MEMAINKAN NADA-NADA KERAS, ATAU MELENGKING DENGAN PANJANG, MEMAINKAN NADA-NADA LEMBUT, ITU ADALAH PILIHAN..
BERGANTUNG ATAU TIDAK KEHIDUPAN SESEORANG, HANYA YANG MEMPU MEMAINKAN BIOLA DENGAN GESEKAN-GESEKAN LAMBUTAH YANG AKAN MENJADI SEORANG PETUALANG DENGAN TINGKAT KETENANGAN YANG LUAR BIASA… DIAM MENGHANYUTKAN ATAU DERAS MEMBENTURKAN..

Rabu, 03 Agustus 2011

Gerbang Desa, Konsep dan Realisasinya?

(Foto:paradigmaindonesia.files)

Oleh:
Rino Sundawa Putra

Penulis tertarik dengan ucapan mantan Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim dalam acara Pos Ronda beberapa hari yang lalu di Radar TV yang menyatakan bahwa gagasan Gerakan Membangun Desa atau lebih dikenal dengan Gerbang Desa yang digagas oleh Bupati Tasikmalaya UU Ruzhanul Ulum jangan dipahami sebagai program membagi-bagikan uang, tetapi harus selaras dan menjadi roda penggerak di tataran instansi-instansi lain. Penulis sangat memahami sekali kekhawatiran Tatang Farhanul Hakim dan sangat sependapat sekali, karena memang sampai sekarang penulis bahkan mungkin publik sekalipun masih belum diberi gambaran yang jelas mengenai konsep dan program yang lebih spesifik baik itu tentang gambaran umumnya yang terdefinisi dengan komprehensif ataupun tataran teknisnya yang lebih parsial.

Terlepas dari itu semua, penulis sangat mengapresiasi sekali gagasan Bupati UU Ruzhanul Ulum, karena kalau Gerbang Desa memiliki Road Mapp yang jelas tentang bagaimana membangun desa dari segala aspek, program tersebut bisa memberdayakan potensi desa baik itu sumber daya manusia atau sumber daya alamnya secara lebih maksimal sebab desa merupakan unit paling bawah dari hirarki pemerintahan Kabupaten, maka desa merupakan ujung tombak pelaksanaan program-program yang selama ini dijalankan oleh pemerintah daerah. Tapi sayangnya sejauh ini potensi yang ada di desa masih dipandang sebelah mata, karena sejauh ini penulis melihat paradigma pembangunan terutama pembangunan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat masih terlokalisir di daerah perkotaan. Kita lihat saja bagaimana indikator peningkatan ekonomi masih diukur dengan sejauh mana pembangunan pusat-pusat perbelanjaan atau perdagangan, sarana hiburan, sarana publik seperti hotel dan rumah makan dan seberapa besar investasi yang masuk.

Bila paradigma pembangunan ekonomi masih dipahami seperti itu, dampaknya tidak akan terjadi pemerataan ekonomi sebab pembangunan ekonomi hanya tersentralisasi di daerah perkotaan, ini artinya desa sebagai teritori yang menjadi bagian suatu daerah menjadi terabaikan, dan masalah-masalah seperti ketimpangan taraf ekonomi antara masyarakat desa dan masyarakat perkotaan semakin jauh, karena peluang mendapatkan sumber-sumber ekonomi di desa menjadi langka. Akhirnya banyak penduduk yang ada di pedesaan mau tidak mau harus datang ke kota untuk mencari nafkah dan ini akan berimplikasi pada masalah-masalah sosial lainnya, seperti adaptasi atau infiltrasi budaya perkotaan yang diadopsi oleh masyarakat desa, kepadatan penduduk di kota bahkan timbulnya kaum miskin kota adalah buah dari perpindahan penduduk tersebut.
Ada istilah Nyaba atau Ngumbara bagi orang sunda. Nyaba atau Ngumbara mengandung pengertian, konotasi atau makna mencari penghidupan/rezeki yang lebih baik di daerah lain. Maka ungkapan orang sunda seperti “lah hese usaha di kampung mah, naon atuh garapeunana paling tani. Mending ge nyaba” adalah ungkapan yang sudah menjadi pandangan umum masyarakat pedesaan. Itulah sebabnya kalau kita ke daerah pedesaan sangat langka sekali menemui orang dengan usia produktif, karena hampir sebagian besar nyaba atau ngumbara ke daerah perkotaan.

Penulis berharap, Gerbang Desa ini mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan seperti itu. Bagaimana kemudian Gerbang Desa dapat menyediakan sumber-sumber ekonomi di daerah pedesaan, sehingga sirkulasi ekonomi akan terjadi di daerah pedesaan yang berakibat pada pemerataan ekonomi dan pendapatan antara masyarakat desa dan kota.

Konsep Ekonomi Politik

Berikan pancing jangan ikan. Kira-kira seperti itulah perumpamaan yang pas untuk menggambarkan pernyataan mantan Bupati Tasikmalaya Tatang Farhanul Hakim. Gerbang Desa bila hanya terfokus bagaimana meningkatkan jumlah anggaran yang digelentorkan seperti dalam Alokasi Dana Desa (ADD) tanpa adanya proses pemberdayaan berkelanjutan dalam mengelola anggaran kaitannya dengan input, proces, output dan outcome, maka bukan tidak mungkin, program Gerbang Desa tidak akan dirasakan oleh masyarakat.
Dalam kajian Ekonomi Politik, peran pemerintah dimana secara politik mendapatkan mandat kekuasaan sebagai alat untuk mengelola seluruh sumber-sumber yang ada termasuk sumber-sumber ekonomi/keuangan bagi kepentingan masyarakat, fungsi regulator/eksekutor, distributor, dan stabilisator harus betul-betul terlaksana. Dalam konteks Gerbang Desa, fungsi regulator/eksekutor bisa dikatakan peran dalam menentukan seperti, berapa besar anggaran untuk desa, program apa saja yang harus dilakukan dan bagaimana kebijakan dalam mengelola potensi ekonomi yang ada di desa. Fungsi distributor menyangkut bagaimana pengalokasiannya, besarannya seperti apa. Stabilisator menyangkut manajemen dalam melaksanakan program seperti kejelasan tugas, fungsi dan wewenang dalam mengalokasikan anggaran sehingga terjadi keseimbangan dalam mendistribusikan sumber keuangan.

Karena inti dari kajian ekonomi politik adalah memposisikan kegiatan ekonomi sebagai jalan untuk memahami kehendak masyarakat dengan menggunakan instrument kebijakan pemerintah, maka dalam konteks Gerbang Desa menyangkut sumber daya alam atau manusia (Resources) perlu di klasifikasikan, mengingat masing-masing desa yang ada di Kabupaten Tasikmalaya mempunyai karakteristik sumber daya alam dan manusia yang berbeda. Perlu adanya klasifikasi sektor-sektor yang menjadi ciri khas masing-masing desa, seperti sektor pertanian, sektor perdagangan, sektor industri/ UMKM dan sektor jasa. Dari pengklasifikasian inilah, pemerintah dapat menentukan kebijakan selanjutnya dalam rangka menentukan besaran anggaran, program apa saja yang harus dilakukan dan pemberdayaannya seperti apa. Potensi desa yang sudah ada menjadi modal dasar dalam melakukan pemberdayaan secara berkelanjutan yang terangkum dalam program Gerbang Desa. Sangat mustahil bila sumber daya manusia yang ada di sebuah desa lebih dominan pada sektor industri/UMKM tetapi bantuan atau program yang diberikan menyangkut masalah pengelolaan tanah, atau bantuan pupuk dan bibit, atau sebaliknya.

Sama halnya dengan pendapat Tatang Farhanul Hakim, penulis meyakini indikator keberhasilan program Gerbang Desa tidak bisa diukur dengan besaran jumlah anggaran yang di alokasikan, tetapi bukti nyata keberhasilan Gerbang Desa dapat diukur dengan adanya perubahan tingkat ekonomi masyarakat pedesaan dengan indikator adanya geliat dan sirkulasi kegiatan ekonomi di pedesaan, ada garapan yang bisa membuka kesempatan kerja seluas-luasnya di daerah pedesaan dan lebih jauh akan berimplikasi pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat pedesaan. Sejauh ini penulis masih berbaik sangka, bahwa program Gerbang Desa bukan sebatas komoditas politik dalam rangka memenangkan Pemilukada kemarin, tentunya agar penulis tidak menjadi berburuk sangka, sangat diperlukan kerja keras, keseriusan dari seluruh perangkat pemerintahan yang ada dalam merealisasikan Gerbang Desa dengan program dan Road Map yang jelas, bukan program bagi-bagi anggaran.

Penulis adalah Dosen pada Program Studi Ilmu Politik Fisip Universitas Siliwangi Tasikmalaya

Senin, 01 Agustus 2011

Mewaspadai Iklanisasi dan Kapitalisasi Agama di Bulan Ramadhan


Dikutip dari tulisan Muhhamadun AS dikolom Wacana Radar Tasikmalaya edisi Sabtu 30 Juli 2011

Menjelang Ramadhan, gemuruh umat Islam sudah terasa mulai sekarang. Lihatlah berbagai tayangan televisi yang sudah “berubah” dengan jubah agama. Hampir semua stasiun televisi berlomba-lomba menyajikan program baru beridentitas agama. Para selebritis juga mengubah gaya hidup (mode), bahkan iklan-iklan produk di televisi sudah menyajikan nuansa Ramadhan.
Semua kemasan program televisi dan iklan itu didesain sedemikian rupa untuk membangun persepsi “Religius”. Religiusitas yang dipersepsikan dalan iklan itu diharapkan mampu menarik simpati publik yang sedang mendamba keberkahan dibulan suci.
Apa yang terjadi dalam “religiusitas yang dipersepsikan” tersebut sebenarnya merupakan fakta lahirnya iklanisasi agama. Ramadhan akan dijadikan sebagai “pasar iklan agama” untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena ditekan hegemoni pasar, iklan agama hadir begitu semarak, sehingga televisi dipenuhi oleh iklan dan tayangan agama tanpa henti. Begitu pemirsa bangun, mereka disuguhi tayangan religius. Seolah ada desain televisi ikut berdakwah. Padahal materi yang disampaikan begitu dangkal untuk memberikan pemahaman agama kepada pemirsa. Iklanisasi agama berjalan begitu massif sehingga pemirsa seolah melalaikan ibadah puasanya sendiri, lebih concern pada acara televisi dalam desain iklan agama.
Menurut Yadi Purwanti (2009), fenomena mendadak religius menjelang Ramadhan yang dikemas dalam iklanisasi agama merupakan implikasi dari pola pemahaman pribadi yang masih split (pecah). Pertama, pada dasarnya manusia, siapapun dia memiliki insting beragama. Insting itu akan semakin besar ketika suasananya memungkinkan, seperti halnya pada bulan Ramadhan. Kedua, rasa pertobatan. Sebab mereka juga mempunyai potensi positif. Mereka sadar dunia artis bergelimang ketidak-beresan, semisal pamer wajah hingga aurat, maka ada saatnya mereka bertobat.
Ketiga, kapitalisasi religiusitas. Kapitalisme itu tetap saja konteksnya, perdagangan. Mereka adalah agen-agen ekonomi yang selalu memanfaatkan peluang apa saja, termasuk religiusitas. Dan, apapun yang bisa dijual dan memberikan manfaat ekonomi, ya digarap. Tapi motifnya ujung-ujungnya duit.
Dalam psikologi behaviorisme, hadirnya iklanisasi agama bisa dilihat dalam tiga teori: stimulus, proses dan report. Dari teori sederhana itulah kebiasaan yang terjadi pada era kapitalisme ini.
Stimulus kita memang hedonisme. Yakni beragama itu dalam rangka mencari kenikmatan, kenikmatan batiniah pribadi, mencari kesenangan, dan kesohiran. Sedangkan secara proses, didalan diri manusia juga merupaka hasil produk sosial yang boleh dikatakan semirusak. Kita di didik secara sekuler!
Jadi proses yang ada dalam diri manusia Indonesia adalah secara umum proses sekulerisasi. Pas Ramadhan jadi baik , tapi diluar itu jadi rusak. Jadi, dari sisi report ialah lahirnya pribadi yang ganda atau hipokrit. Ketika Ramadhan mereka jadi saleh, setelah itu kembali ke asal. Karena terpukau oleh hasrat Iklanisasi agama, masyarakat justru terjebak pada keberagaman yang simplistik dan artifisial. Jiwa umat lslam menjelang Ramadhan bukannya dipenuhi kekhusuyukan dalam itikaf dimesjid untuk menggapai keutamaan Ramadhan yang penuh berkah, tapi tersandera oleh kemegahan dan kemewahan yang berlebihan. Anjuran Nabi agar umat Islam meningkatkan ibadah justru dihabiskan dengan ritual menonton.
Sinetron dan iklan yang sama sekali tidak berkaitan dengan pesan dan nilai puasa. Pesan substantif Ramadhan agar kita menemukan kefitrian (kemurnian) jiwa, terdistorsi oleh hasrat iklan, sinetron, dan konsumerisme.
Dalam konteks ini, iklanisasi agama merupakan bentuk “keterjebakan” umat Islam dalam kuasa hawa nafsu. Sekian jalan artifisial yang dijalankan umat Islam adalah bentuk depotisme hawa nafsu yang memporak-porandakan nurani manusia . itulah yang oleh Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib Al-Akhlaq (1985) dijelaskan bahwa manusia sering terjebak pada kenikmatan material yang tidak begitu berarti. Bahkan sering menjerumuskan manusia pada kerusakan dan kenistaan.
Itu terjadi, lanjut Miskawaihn, karena manusia tidak siap mengekang jiwa dari hawa nafsu rendah dan tidak siap menguasai keburukan-keburukan yang setiap waktu bergejolak.
Menjelang Ramadhan, Nabi tidaklah memerintahkan umat Islam untuk sibuk melakukan iklanisasi agama. Tapi berlomba-lomba memberdayakan sesama yang masih teringgal dan terbelakang. Berlomba dalam menolong sesama untuk membersihkan jiwa orang puasa (thuhrotan li al-shoim) dan memeberikan penghidupan bagi kaum miskin (thu’matan li al-masakin).
Dengan jiwa yang bersih dan memberikan jaminan penghidupan bagi fakir miskin, puasa Ramadhan yanhg dijalankan akan menemukan makna subtantifnya. Mengumbar kuasa hawa nafsu hanya menjebak umat Islam dalam kealpaan beragama. Subtansi ajaran agama terdistorsi oleh gerak iklan dan sinetron yang terus bergejolak ditelevisi.
Sementara itu, nilai mesjid-mesjid menjadi kosong karena tergusur oleh kuasa pasar yang semakin membuat buta mata hati beragama. Jadilah mesjid sekedar benteng dan monument yang tidak bernilai karena umat Islam “menyembah” pasar sebagai benteng eksistensi hidupnya.
Sudah saatnya umat Islam kembali pada subtansi ajaran puasa yang diwasiatkan Nabi. Yakni mampu menahan hawa nafsu sehingga nanti mampu menjadi pelita yang menerangi kegelapan malam.

Penulis adalah Direktur Eksekutif
Center for Multicultural Studies
(CMS) Jogjakarta.

Kamis, 14 Juli 2011

DAFTAR NILAI UAS SEMESTER GENAP 2010-2011
KOMUNIKASI POLITIK

NO NAMA HURUF MUTU
1 DEDE B
2 IRSANDY B
3 FIRMAN B
4 NIA KURNIASIH A
5 NESYA A
6 IRFAN B
7 RIZKY A
8 FRIDA C
9 JENNY R C
10 CAHYA B
11 DIKA B
12 HILMAN B
13 DICKY A
14 RESTA B
15 ERNI A
16 YOPI C
17 RUDI B
18 FERY B



DAFTAR NILAI UAS SEMESTER GENAP 2010-2011
POLITIK DAN PEMERINTAHAN LOKAL

NO NAMA HURUF MUTU

1 AGUNG B
2 FIRMAN B
3 NIA KURNIASIH A

4 IRFAN B
5 RIZKY B
6 FRIDA B

7 CAHYA C
8 DIKA A
9 HILMAN B
10 DICKY A
11 RESTA B
12 ERNI A
13 YOPI B
14 RUDI A
15 FERY B

Selasa, 28 Juni 2011

BEDAH FILM GLOBALISASI “THE NEW RULERS OF THE WORLD”


Kata globalisasi sering dibicarakan oleh banyak orang, asosiasi yang terbentuk ketika berbicara globalisasi adalah modern, teknologi, kemajuan, dan hal-hal yang mempunyai konotasi kemakmuran sebuah negara. Tetapi ada sebuah fakta yang sangat tersembunyi atau mungkin disembunyikan oleh para penggagas globalisasi terutama negara-negara industri besar. Pertanyaannya adalah, bagaimana dampak dari perjanjian perdagangan bebas sebagai langkah awal dalam membangun struktur ekonomi global yang disebut dengan globalisasi (The New Rules of The World) terutama dampak ekonomi, sosial, budaya dan hukum dinegara-negara dunia ketiga termasuk Praktek dan dampaknya di Indonesia.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa (Bem) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi mengadakan bedah Film mengenai dampak kebijakan globalisasi bagi perkembangan ekonomi dunia, khususnya yang terjadi di Indonesia. Diskusi tersebut diselenggarakan pada hari Sabtu 26 Juni 2011 bertempat di ruang Laboratorium Fisip Unsil, dan dihadiri oleh perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa dari (Bem) se-Universitas Siliwangi.

Mengawali diskusi, peserta melihat film mengenai dampak kebijakan globalisasi yang dirasakan oleh negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia. Film berdurasi 53 menit tersebut sangat lugas dalam mengkritisi kelemahan-kelemahan kebijakan globalisasi. Jhon Pilger sangat apik dalam memaparkan dampak kebijakan globalisasi yang menimpa mayoritas rakyat di Indonesia. Film tersebut juga mendokumentasikan gerakan-gerakan yang ber sifat global dalam menentang kebijakan globalisasi, salah satunya dari Dita Sari pimpinan organisasi buruh di Indonesia, Taylor dari Globalization Resistance, Barry Coates dari gerakan pembangunan dunia, George dan Dr. Vandana Shiva dari Environmenatalis. Mereka sepakat bahwa kebijakan globalisasi dan pasar bebas telah menimbulkan tatanan ekonomi dunia yang tidak adil sehingga eksploitasi manusia atas manusia lain telah menjadikan jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar.

Diskusi berlangsung cukup hangat, pembicara yaitu Rino Sundawa Putra (Dosen Prodi Ilmu politik Fisip-Unsil) mendapat tanggapan yang cukup banyak dari peserta diskusi sehingga argumentasi dari peserta cukup mewarnai. Dalam diskusi tersebut melingkupi :

Apa yang dimaksud dengan Globalisasi?

Bagaimana mekanismenya?

Apa landasan teoritiknya dan ideologinya?

Siapa aktor-aktornya?

Siapa yang menjadi korban?

Bagaimana perlawanannya?




Kata globalisasi diambil dari kata global, yang maknanya ialah, universal. Jadi globalisasi maksudnya adalah universali- sasi ideologi kapitalisme, atau menjadikan kapitalisme sebagai satu-satunya ideologi dan peradaban dunia. (Akhmad Al-Khatib)


Jadi secara sederhana Globalisasi adalah
Proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa
kedalam suatu tatanan ekonomi global.

Janji Globaliasi untuk kesejahteraan:
Globalisasi dikampanyekan untuk menjanjikan pertumbuhan ekonomi secara global dan akan mendatangkan kemakmuran global bagi semua.

Faktanya:

Globalisasi hanya kelanjutan dari kolonialisme, penjajahan dan dominasi, bungkus baru dari imprelialisme.

Kapan proyek Globalisasi mulai berjalan:
Ditandai denga disepakatinya format perdagangan bebas (free trade)
Pada bulan April 1994 terjadi penandatanganan perjanjian perdagangan antar negara/antar pemerintah yang disebut dengan GATT (General Agreement on Tariff and Trade). Prinsip yang dibangun adalah negara harus terbuka terhadap investasi asing dan melepaskan sistem proteksionis khususnya kepada negara-negara dunia ke tiga (miskin dan berkembang) seperti Indonesia. Infra Struktur dalam memuluskan agenda globalisasi:


Swastanisasi

Korporatisme

Perusahaan-Perusahaan

Bank-Bank

Pasar-Pasar Modal

Perdagangan Bebas

Pemaksaan Ide-Ide dan Nilai- Nilai Peradaban Kapita- lisme Kepada Seluruh Dunia (sekularisme, rasionalisme, kesepahaman/perdamaian antar bangsa, kebebas- an, pembatasan kelahiran, pluralisme, supremasi hukum, pengembangan masyarakat sipil (civil society), perubahan kuri- kulum pendidikan, penyelesaian pengangguran dan inflasi dengan cara tertentu, dan sebagainya)
Pemantapan Ide-Ide Separatisme dan Pemecah- Belahan Negara


Negara dunia ketiga dikategorikan sebagai negara negara yang tengah mencari investasi dan uang dari ekspor, untuk itulah negara-negara dunia ketiga harus menyediakan buruh murah bagi kelangsungan investasi asing dinegara tersebut.


SIAPA YANG PALING DIUNTUNGKAN?
Perusahaan-perusahaan raksasa Transnasional yang paling diuntungkan dari Globalisasi. Perusahaan Transnasional sampai saat ini mengusasai 75% perdagangan dunia.

Aktor-aktor Globalisasi:

Negara-negara kuat (Amerika, Inggris), perusahaan transnasional, IMF, Bank Dunia WTO
Korban:
Negara-negara Dunia ketiga yang punya seumber daya melimpah.

Dengan demikian sesungguhnya Globalisasi tidak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan rakyat, karena hanya menguntungkan segelintir negara dengan perusahaan Transnasionalnya, sedangkan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia hanya dijadikan pasar dan ekploitasi buruh murah.

Abid Al Jabiri –seorang ahli ekonomi Maroko– pada salah satu konferensi tentang globa- lisasi menyatakan bahwa globalisasi mempunyai tiga segi negatif :

1. Semakin lebarnya kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin secara berlebihan, sehingga kehidupan modern di setiap negeri akan diwarnai dengan dikotomi miskin-kaya dan ketidak-solidan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

2. Semakin lebarnya jurang pemisah antara anak-anak orang kaya dengan anak-anak orang miskin, yang akan melahir- kan generasi yang terbelah menjadi dua golongan dengan dunianya sendiri-sendiri.

3. Merintangi dan melenyapkan kreativitas manusia dalam kegiatan perdagangan dan usaha, serta mengokohkan prinsip menghalalkan segala cara.

Akar Ideologi Globalisasi
Teori Globaliasai dilandasan pada satu ideologi yang disebut dengan Neo-liberalisme.
Para penganut paham Neo-liberalisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dicapai dari hasil “kompetisi bebas” dan “pasar bebas”.
Asumsinya adalah, ketika kekayaan dikuasai oleh segelintir orang, maka akan menciptakan kesejahteraan yang bersifat trickle down efek. Oleh karena itu, segelintir orang tersebut harus difasilitasi dan dilindungi oleh negara (swastaniasasi), kalau perlu jangan dipajaki.

Secara spesifik paham Neo-liberal ini mempunyai pokok-pokok tujuan:
Pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, seperti perburuhan, pajak, investasi, harga.
Kedua, hentikan subisidi negara kepada rakyat, (pendidikan, kesehatan, kebutuhan pokok, asuransi), privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara.
Ketiga, penghapusan ideologi “kesejahteraan bersama” dan pemilikan bersama, diganti dengan sistem kapitalis.

Struktur sistem dominasi dan penjajahan sekarang:
Neo-liberalisme, kapitalisme, Globalisasi
Tokoh teoritisi Neo-liberalisme:
Adam Smith (The Wealth of Nations, 1776)

Kapan Indonesia masuk dalam jurang Neo-liberalisme, Kapitalisme dan Globalisasi?

Selasa, 14 Juni 2011

Belajar Dari Kampung Naga (2)


Oleh:
Rino Sundawa Putra

Mengukur Modernisasi
Setelah penulis tercerahkan oleh pandangan masyarakat Kampung Naga mengenai apa itu alam dan apa itu budaya, pelajaran kedua yang penulis dapatkan Kampung Naga adalah tentang modernisasi. Apa itu modernisasi dan bagaimana masyarakat Naga memandang modernisasi dalam konteks pengaruhnya terhadap kearifan lokal setempat?, karena modernisasi membawa sebuah tatanan, pola hidup dan budaya baru, jelas mau tidak mau, suka atau tidak suka pengaruh modernisasi perlahan-lahan akan merubah budaya lama, termasuk budaya yang telah berabad-abad silam di wariskan oleh para leluhur Kampung Naga.
Ketika penulis memaparkan pertanyaan tentang pengaruh modernisasi, jawaban awal dari ketua adat adalah “kami lebih bangga ketika kami dikatakan kampungan dan ortodoks”. Sebuah jawaban yang singkat tetapi penuh dengan perenungan, dan punya nilai filosofis yang sangat dalam. Bagi masyarakat Kampung Naga, definisi modernisasi harus jelas dulu arahnya, apakah modern dalam pola pikir, modern dalam prilaku, bahasa atau modern dalam penampilan?. Kecenderungan sekarang ketika orang memahami modern itu hanya sebatas gaya hidup dan hidup gaya. Makna modernisasi dipersempit sekali dengan sebuah tampilan luar yang seolah-olah modern padahal miskin akan makna dan jati diri.
Dalam menyikapi arus modernisasi, masyarakat Kampung Naga selalu berpegang pada prinsip “kembali pada jati diri” (Back to basic), artinya masyarakat Kampung Naga tidak akan menutup diri terhadap perkembangan zaman yang terus berubah, karena perubahan itu sifatnya adalah fitrah. Akan tetapi dalam menerima modernisasi harus ada filter dan ada semacam aturan teritori yang berlaku untuk menempatkan wilayah mana yang membolehkan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan modernisasi, wilayah mana yang tidak boleh. Ketika Kampung Naga secara teritori memiliki norma-norma adat sebagai upaya memegang teguh warisan budaya, maka norma-norma tersebut tidak boleh dilanggar walaupun dengan klaim pembangunan atau perkembangan zaman yang terkesan rasional, tapi secara norma-norma budaya yang berlaku dalam lingkungan adat masyarakat Naga itu tidak ada artinya, itu akan ditolak. Oleh karena itu prinsip ‘Kembali pada jati diri” adalah upaya sebagai filter dalam menerima modernisasi secara teritori. Sebagai contoh, mayoritas warga Kampung Naga kurang lebih 98 persen tinggal atau berada diluar wilayah adat, menikah dengan orang luar atau menggeluti berbagai macam profesi, tentunya sudah terbiasa dengan pola hidup modern. Tapi ketika mereka yang berada diluar kembali ke Kampung Naga, maka lepas segala atribut, simbol-simbol dan kebiasan-kebiasan diluar, kembali pada jati diri (mulang ka asal), berbaur dan menyatu dengan norma-norma adat yang berlaku sebagaimana dulu. Itulah sebagian upaya masyarakat Naga dalam memegang teguh dan melestarikan warisan leluhurnya dari arus modernisasi.
Pada akhir pembicaraan tentang makna modernisasi dengan ketua adat, penulis kemudian bertanya tentang penolakan masyarakat Naga pada listrik, karena sebelumnya pemerintah telah dua kali menwarkan program listrik gratis untuk masyarakat Naga dengan membangun jaringan listrik Surya Cell, akan tetapi itu ditolak. Dan sama seperti halnya jawaban yang pertama mengenai pengaruh modernisasi, ketua adat menjawab dengan singkat tetapi masih memiliki makna dan perenungan yang dalam, “bila ada listrik kami tidak bisa menikmati bulan purnama”. Tidak ada penjelasan lanjutan tentang jawaban itu, tapi penulis bisa menterjemahkannya. Mungkin kalimat tersebut mengandung makna bahwa masyarakat adat sudah terbiasa dan merasa sangat nyaman dengan pola hidup yang sangat sederhana yang berbaur dengan alam, dan jati diri atau suasana tersebut tidak boleh “dirusak” dengan hal baru yang bukan tidak mungkin akan merubah pola hidup lama, dan masyarakat Naga tidak ingin ciri khas dan kearifan lokalnya hilang. Masyarakat Naga ingin menghargai alam sebagai anugerah kehidupan, dan dalam hal ini masyarakat adat ingin selamanya menghargai bulan purnama sebagai satu-satunya penerang malam.
Itulah masyarakat adat, yang lahir dari sebuah orisinalitas kehidupan yang menyatu dengan alam, masyarakat adat Kampung Naga tidak boleh dipaksa untuk bisa menerima pembangunan dalam frame modernisasi sekalipun itu dalam pandangan atau program Pemerintah sebagai upaya untuk memajukan daerah setempat. Masyarakat adat tumbuh dan berkembang juga berupaya mempertahankan warisan budaya berdasarkan pola hidup yang apa adanya, itulah kearifan lokal yang harus kita hargai dan pelihara sebagai sebuah kekayaan budaya bangsa.
Sayangnya, penulis tidak bisa melacak lebih jauh asal-usul komunitas adat Kampung Naga ini, karena tidak adanya peninggalan berupa prasasti atau bukti-bukti tertulis tentang asal-usul Kampung Naga, karena seperti yang dituturkan oleh ketua adat pada tahun 1956 semua benda sejarah termasuk bukti tertulis yang dibuat dalam daun lontar dibakar oleh gerakan separatis DI/TII , sehingga ketua adat mengatakan bahwa masyarakat adat Kampung Naga “pareumeun obor” ketika harus menjelaskan asal-usul Kampung Naga.
Dalam hal ini, masyarakat adat Kampung Naga akan secara terbuka menerima beberapa versi sejarah tentang asal-usul masyarakat Naga, termasuk salah satu versi yang menuliskan bahwa masyarakat Naga berasal dari prajurit Sultan agung yang kalah perang ketika melawan tentara penjajah di Batavia. Tetapi yang jelas, penulis berkeyakinan bahwa Kampung Naga berdiri sebelum Islam (Abad 14) masuk ke beberapa wilayah di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan adanya tempat Pangsolatan yang diyakini sebagai tempat sholat pertama bagi masyarakat Naga ketika sudah memeluk Islam. Dari jejak ini bisa disimpulkan bahwa masyarakat Naga sebelumnya adalah masyarakat yang masih memeluk agama kepercayaan leluhur (animisme), sebelum Islam datang pada abad 14, artinya bahwa Kampung Naga jauh lebih tua dari kehadiran Islam di Nusantara dan lebih tua dari bangsa Indonesia.
Itulah pelajaran kedua penulis tentang makna modernisme dan bagaimana kita menyikapi arus modernisasi yang sangat gencar. Romantisme perenungan diri bersama nilai-nilai budaya masyarakat Naga ini, membawa saya pada masa lalu, masa lalu yang tidak terjamah dengan kebudayaan baru berwujud modernisasi yang materialis dan konsumtif. (*/Tamat).

Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil

Senin, 13 Juni 2011

Belajar Dari Kampung Naga (1)


Oleh:
Rino Sundawa Putra

Setelah sebelumnya pernah menulis tentang keindahan alamnya, penulis kembali tertarik akan eksotisme komunitas adat Kampung Naga, ketika beberapa rekan kerja berencana mengunjungi Kampung Naga dalam rangka melakukan penelitian mengenai kepemimpinan adat, tanpa diminta saya menawarkan diri untuk ikut dalam kerja penelitian tersebut. Bila teman-teman saya tertarik dan ingin melakukan penelitian tentang struktur kepemimpinan adat, saya malah tertarik dengan filosofi budaya masyarakat adat Kampung Naga. Bagi penulis, sama halnya dengan filosofi budaya masyarakat adat yang lain seperti Kampung Kuta di Ciamis dan Baduy di Banten, filosofi budaya tersebut selalu melahirkan pranta-pranata dan aturan-aturan sosial yang membentuk pola kehidupan masyarakat adat setempat, tapi yang menjadi perhatian penulis adalah sejauh mana filosofi budaya dan nilai-nilai budaya yang membentuk pola hidup masyarakat adat Kampung Naga bisa bertahan ditengah gempuran budaya modernisasi, dan sejauh mana mereka bisa beradaptasi dengan modernisasi itu? Akankah generasi selanjutnya bisa memegang teguh warisan budaya dari nenek moyangnya?
Kampung Naga menjadi berbeda dengan komunitas-komunitas adat yang lain adalah karena letaknya yang tidak jauh dari pusat kota di Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, kurang lebih 10 Km dari pusat pemerintahan dan daerah perdagangan di Singaparna, itu pun dengan sarana jalan dan sarana transportasi yang cukup memadai. Bila kaitannya dengan pengaruh modernisasi, tentu faktor geografis menjadi kaitan erat karena menyangkut mobilitas dan kemudahan untuk mengakses segala informasi dan keadaan yang terjadi diluar komunitas adat. Coba kita bandingkan dengan Kampung Kuta di Ciamis atau komunitas adat baduy yang letaknya sangat jauh terpencil dari pusat keramaian, bahkan untuk komunitas adat Baduy, antara Baduy luar yang sudah terbuka dengan modernisasi dan Baduy dalam yang masih memegang teguh adat-adat dan sangat tertutup untuk menerima hal baru diluar pranata budayanya, jarak yang harus ditempuh dengan berjalan kaki bisa mencapai puluhan Kilometer, itupun dengan medan yang tidak mulus. Jelas aspek geografis ini menjadi faktor penting seberapa besar pengaruh modernitas ini bisa menjamah masyarakat adat.

Definisi Budaya Menurut Masyarakat Naga

Cakrawala pengetahuan penulis menjadi lebih luas ketika bebincang dengan Ketua adat Kampung Naga bapak Ade Suherlin tentang filosofi budaya masyarakat Kampung Naga. Sebelum lebih jauh menjelaskan filosofi budaya masyarakat Naga, ketua adat terlebih dahulu menjelaskan tentang peran lembaga adat. Lembaga adat merupakan struktur adat yang tugasnya adalah mempertahankan warisan leluhur tentang pola hidup masyarakat adat Kampung Naga. Untuk mempertahankan warisan budaya tentunya masyarakat Kampung Naga harus bisa hidup dengan makan dan minum. Artinya kebutuhan sandang, pangan dan papan bisa terpenuhi. Untuk bisa hidup masyarakat Naga harus bisa mengolah alam, dalam mengolah alam inilah, diperlukan sebuah prinsip tentang bagaimana mengolahnya. Masyarakat Kampung Naga memiliki warisan prinsip, warisan prinsip itu adalah bagaimana mengelola alam atau bagaimana hidup bersama alam, bukan hidup di alam. Untuk memulai hidup bersama alam, masyarakat Kampung Naga harus paham betul apa itu alam, alam bukan objek tapi alam adalah subjek yang sama-sama mendiami bumi. Artinya alam bukanlah tersedia untuk di eksploitasi secara besar-besaran, alam ada karena ingin berbagi kehidupan dengan manusia, artinya manusia ingin hidup dari alam, begitupun sebaliknya, alam ingin hidup dari manusia disinilah letak ketergantungan antara satu dengan yang lain (mutualisme). Jika kita ingin mengelola alam, maka bersahabatlah dengan alam, dengan cara ngarawat, ngarumat. Itulah apa yang dikatakan ketua adat tentang filosofi budaya mereka dalam mengelola alam untuk hidup, Karena alam bisa mewarisakan air mata (bencana) bila serampangan dalam mengelolanya dan juga mata air bila bijak dalam mengelolanya. Dari Filosofi ini, maka penulis menjadi tahu jawabannya mengapa alam disekitar kampung Naga bergitu indah, asri, hijau termasuk lahan sawah, kebun garapan dan hutan disekelilingnya tampak begitu hijau. Tidak Nampak longsoran tanah atau tanaman layu.
Ada sebuah legitimasi kata yang tidak tertulis mengenai larangan-larangan di komunitas Kampung Naga yang secara turun temurun dipahami dan dipatuhi sebagai kesadaran sosial yang tulus, tanpa ancaman dan tanpa sanksi tertulis. Legitimasi kata larangan tersebut mengandung makna sebagai sesuatu hal yang punya sifat tabu dan sifat magis yang tidak boleh dipertanyakan. Kata tersebut adalah “Pamali”. Pamali ini mengandung makna kata melarang sekaligus makna sanksi yang tidak bisa diukur batasannya. Dan kecap (ungkapan) pamali ini menjadi rambu-rambu dalam mengelola alam. Seperti halnya pamali masuk atau menebang pohon di hutan keramat, pamali menebang pohon-pohon tertentu atau pamali menebang pohon secara sembarangan. Bagi penulis, keyakinan yang lahir dari budaya inilah yang kemudian menjadi cara masyarakat adat Kampung Naga dalam menjaga alam.
Kaitannya dengan definisi adat budaya, ketua adat menjelaskan bahwa telah terjadi kesalahan dalam menafsirkan apa itu budaya baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Sekarang ini makna budaya dipersempit dengan hanya meng-identikannya dengan pariwisata atau dalam arti yang lebih lugas budaya telah dijadikan tontonan (hiburan), padahal budaya adalah sebuah tuntunan dan identik dengan pendidikan, karena budaya mengandung nilai edukasi, falsafah dan seni tentang semua aspek kehidupan sosial masyarakat dan tatanan hidup. Nilai edukasi itu terletak pada bagaimana budaya bisa melahirkan norma-norma, bagaimana kita berucap, berprilaku, bersikap dan ber-etika baik itu dengan sesama manusia, alam dan Tuhan.
Dari apa yang diuraikan oleh ketua adat, penulis akhirnya bisa menemukan jawaban kenapa dalam Buku Tamu kunjungan yang tersedia didepan ruang pertemuan adat, baik itu Buku Tamu untuk pengunjung domestik maupun asing, dalam kolom Tujuan lebih banyak diisi dengan Holiday, Honey Moon atau Traveling, hanya beberapa saja yang tertulis untuk Penelitian atau Observasi, baik itu untuk keperluan jurnalistik ataupun studi dari lokal ataupun internasional. Sama halnya dengan komunitas-komunitas adat yang lain, Kampung Naga juga hanya sebatas menjadi objek foto-foto para pengunjung, tanpa mau menelisik lebih lanjut atau belajar dari kearifan lokal setempat. Ini yang kemudian dikatakan oleh ketua adat bahwa Budaya kini hanya menjadi tontonan untuk mendongkrak pendapat daerah atau pendapatan Negara bukan tuntunan. Budaya telah menjadi komoditas ekonomi bagi sektor pariwisata.
Itulah pelajaran pertama mengenai alam dan definisi budaya dari Kampung Naga yang penulis dapatkan dari kunjungan kedua. Dari kesederhanaannya dan kearifannya penulis belajar banyak tentang kehidupan, tentang nilai-nilai dan falsafah kehidupan. Kampung Naga mengajarkan penulis tentang nilai kesederhanaan yang ternyata membuat hidup kita penuh syukur. Penulis “jatuh cinta” pada Kampung Naga. (*/Bersambung).

Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil

Rabu, 08 Juni 2011

Indonesia Dalam Mitologi Mahabharata


Oleh: Rino Sundawa Putra

“Sistem sekarang ini pada akhirnya telah terbukti memunculkan orang-orang jahat dan menyingkirkan orang-orang baik”. Itulah kira-kira pernyataan Arbi Sanit seorang pengamat politik dari UI dalam sebuah diskusi di televisi nasional yang menyoroti tentang praktek percaloan proyek di Departemen-Departemen pemerintah oleh sejumlah oknum anggota dewan di DPR. Tidak tanggung-tanggung, praktek berjamaah ini bahkan sudah dianggap tidak tabu lagi bagi lingkungan DPR, Bahkan dugaan hasil kongkalikong proyek ini pun disinyalir masuk kedalam pundi-pundi kas partai politik. Kasus terbaru mengenai dugaan manipulasi proyek yang menimpa bendahara umum partai Demokrat M Nazarudin adalah indikator nyata yang bisa menggambarkan betapa busuknya aroma patgulipat diantara elite-elite Negara di republik ini. Inilah gambaran bangsa ini sekarang, Korupsi dan manipulasi untuk kepentingan beberapa golongan dalam episentrum kekuasaan sudah bukan lagi menjadi rahasia umum tapi telah menjadi tontonan setiap hari. Reformasi pada akhirnya telah melahirkan kekuasaan yang masih bersifat oligarkis, oligarki partai politik. Demokratisasi yang ditandai dengan menjamurnya partai politik, ternyata tidak mengarah pada apa disebut dengan mekanisme Chek and balances antara eksekutif dan yudikatif, Pemerintah dan DPR sebagai bagian upaya dalam menciptakan transparansi, akuntabilitas, kapabelitas dan integritas tata kelola negara yang mengarah pada peningkatan performa dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, tapi yang terjadi adalah mekanisme kongkalikong, patgulipat, atau apapun namanya dalam menggerogoti dan memanipulasi pundi-pundi keuangan negara. Negara ini kering akan keteladanan dan kepemimpinan karena perilaku para elite tidak pernah menjadi teladan yang baik. Dari keadaan tersebut maka munculah persoalaan kolektif, yaitu persoalan moralitas bangsa yang melahirkan manusia-manusia tamak dan oportunis.

Mitologi Mahabharata

Bila kita merujuk pada keyakinan sebagian masyarakat Jawa yang masih memegang keyakinan berupa mitologi dalam nilai-nilai kebudayaan Jawa (Kejawen), mitologi tentang kisah dari epos Ramayana dan Mahabharata, kita akan menemukan kesamaan realitas antara keadaan bangsa ini sekarang dengan apa yang diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa mengenai kekacauan di sebuah negeri. Kisah Mahabharata ini mengangkat pertempuran antara kebajikan dan kejahatan. Secara singkat kisah Mahabharata ini menceritakan tentang sebuah negeri ketika di kuasai oleh kelompok Kurawa, kelompok yang merepresentasikan ketamakan, nafsu, egoisme, pengagungan diri, dan kepongahan yang melenceng dari kehendak dewata. Sebuah negeri akan mengalami kekacauan, anarki, ketidakpastian, kemiskinan dan ketidakadilan manakala kelompok Kurawa ini berkuasa. Dalam mitologi tersebut, zaman tersebut disebut sebagai zaman edan! Bagi sebagian masyarakat Jawa, bila zaman sudah dikatakan sebagai zaman edan, maka pengharapan terakhir adalah kedatangan Ratu Adil.
Dalam mitologi ini, keadaan sulit tersebut melahirkan sebuah tokoh yang merepresentasikan sosok bijak yang lahir dari sistem atau keadaan yang sangat sulit, miskin dan penuh dengan ketidakadilan. Tokoh itu adalah Semar. Semar lahir dengan atribut yang melambangkan kesederhanaan, kebijaksanaan dan petuah-petuah tentang kebajikan. Sosok ini diyakini sebagai sosok penawar bagi keadaan edan di sebuah negeri.
Kelompok Kurawa ini hanya bisa dikalahkan dan digulingkan dari tampuk kekuasaannya oleh Pandawa Lima. Pandawa Lima ini adalah kelompok yang merepresentasikan kebajikan, keharmonisan dan keadilan, akhirnya terjadilah pertempuran antara kejahatan dan kebajikan yang disebut Bharata Yudha (Perang Akbar), dan Pandawa berhasil menaklukan Kurawa, itu artinya negeri tersebut dikuasai oleh orang bajik yang membawa pada kesejahteraan, ketertiban, keadilan dan ketentraman.
Melihat fakta yang terjadi di Indonesia, mungkin bagi sebagian masyarakat Jawa yang masih memegang teguh mitologi Mahabrata ini, akan meyakini bahwa para Kurawa sedang berkuasa di republik ini, kisah Mahabrata sedang terjadi di republik ini dan negeri ini dikategorikan sebagai negeri edan!. Mereka pasti akan menunggu sang Ratu Adil datang, para Pandawa Lima datang untuk menghancurkan kekuasaan para Kurawa. Dan mereka akan menantikan perang akbar, perang Bharata Yudha.
Tidak hanya masyarakat Jawa yang masih meyakini mitologi ini, penulis pikir semua rakyat Indonesia yang masih punya kepekaan dalam mersepon keadaan bangsa ini, jelas akan berpikir sama, berpikir bahwa negeri ini digelayuti mendung kekacauan, ketidakstabilan, kekerasaan, nafsu, egoisme dan kemiskinan. Watak para Kurawa ini sangat jelas menggambarkan bagaimana para elite-elite negara memerankan sosoknya. Lalu pertanyaannya siapakan, dimanakah dan kapankah para Pandawa Lima akan muncul, calon-calon pemimpin dan elite-elite negara yang punya hati dalam membawa kebajikan dan merubah negeri menjadi lebih sejahtera. Minimalnya kita mengharapkan kedatangan sosok yang menyerupai karakter Semar, sebagai sosok penyejuk dengan segala atribut kesederhanaannya, petuah-petuahnya dan kebajikan-kebajikannya ditengah dominasi karakter tokoh-tokoh bangsa yang belum bisa merepresentasikan ketokohannya.
Mitologi Mahabrata ini mampu menggambarkan situasi bangsa ini dengan baik. Dalam konteks Indonesia, mitologi ini telah menjelma menjadi sebuah realitas, bukan dongeng atau mitos-mitos yang berkembang dalam nalar budaya masyarakat Jawa. Pada akhirnya ketamakan dan kejahatan akan dikalahkan oleh kebajikan. Itulah pesan bernilai dalam nalar budaya Jawa (Kejawen) sebagai ending dari kisah epik ini. Itu artinya kita sebagai bagian anak bangsa, harus meyakini bahwa pada saatnya nanti bangsa ini akan kembali “merdeka” dari ketamakan para Kurawa, kita harus punya semangat dan keyakinan pada perubahan yang dicita-citakan bersama.

Dimuat pada kolom Wacana Harian Pagi Radar Tasikmalaya Edisi 1 Juni 2011

Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil

Selasa, 17 Mei 2011

Karaoke (Bernyanyi) dan Fatwa-Fatwa Ulama


Oleh:
Rino Sundawa Putra

Setelah mencermati perkembangan pemberitaan media yang begitu gencar tentang polemik pemberian izin usaha karaoke, akhirnya pemerintah pun buka suara tentang persoalan ini. Di awali oleh pernyataan Wali Kota yang menegaskan bahwa setiap pengunjung yang datang berpasangan ke tempat karaoke wajib membawa surat nikah. Kemudian disusul dengan pernyataan Kepala Badan Perizinan Terpadu (BPPT) tentang empat butir syarat yang harus dipenuhi pengelola karaoke. Tidak hanya itu, bola salju karaoke ini terus menggelinding, sejumlah pihak ikut merespon, ada yang beraudensi dengan Dewan bahkan sejumlah ormas Islam mempertanyakan kredibilitas MUI sebagai lembaga formal representasi dari perwakilan Ulama.
Terlepas dari itu semua, nasi sudah menjadi bubur dan bola sudah menggelinding. Tetapi bukan sebuah hal mustahil bagi pemerintah yang mempunyai otoritas tertinggi sebagai pembuat kebijakan untuk mau mengevaluasi dan merevisi kebijakan yang telah diambil sebelumnnya. Pertanyaannya adalah, dasar apakah yang harus dijadikan sandaran dalam melakukan evaluasi dan revisi? Yang harus menjadi batu pijakan dalam melakukan evaluasi dan revisi adalah amanah kota Tasikmalaya itu sendiri, amanah yang mengemban cita-cita luhur untuk terus merawat nilai-nilai Islami, sehingga julukan kota santri masih layak disematkan, bukan dari apa yang telah “diteriakan” berbagai kelompok yang mengkritisi kebijakan itu, karena ketulusan dalam mengemban amanah ini harus datang dari lubuk hati yang paling dalam dan relung nurani yang paling peka, bukan karena “teriakan”, kritikan dan tuntutan. Artinya ketika berbicara tentang bagaimana merawat nilai-nilai Islami dan religiusitas masyarakat kota Tasikmalaya, jelas ini sangat berkaitan dengan pertanyaan sejauh mana kepatuhan pemerintah dan masyarakat akan ketentuan-ketentuan yang tersurat dan tersirat dalam Al-Quran, karena Al-Quran adalah pedoman yang menjadi indikator sejauh mana nilai-nilai Islami itu dijalankan. Merawat nilai-nilai Islam yang menjadi frame pembangunan di kota Tasikmalaya, tentunya ini akan berkaitan dengan sejauh mana individu-individu yang secara sosial akan menjadi kekuatan kolektif yang menggambarkan religius atau tidaknya masyarakat kota Tasikmalaya, tergantung dari kepatuhan dalam melaksanakan Al-Quran dan Sunnah.
Mencari Fatwa Teologis Menyanyi
Karaoke jelas erat kaitannya dengan aktifitas menyanyi dan musik, dan menyanyi dalam hukum positif di Indonesia jelas bukanlah kegiatan yang dilarang karena memang menyanyi dianggap tidak terdapat unsur-unsur pelanggaran yang dapat merugikan, bahkan dalam hukum positif, menyanyi tidak dianggap sebagai sarana yang punya kecenderungan mendekatkan pada kegiatan pornografi dan pornoaksi, untuk itulah kenapa beberapa penyanyi yang selalu mengeksploitasi tubuhnya lewat tarian-tarian erotis dengan busana terbuka saat bernyanyi ketika tampil dilayar kaca atau pada setiap hajatan-hajatan resepsi pernikahan tidak pernah mendapatkan sanksi. Tetapi Islam sebagai agama yang universal yang mengatur semua pola kehidupan manusia memberikan gambaran tentang musik dan aktifitas menyanyi ini baik itu dalam Al-Quran dan Sunnah yang kemudian menjadi sumber tafsir yang diterjemahkan secara berlainan.
Terdapat perbedaan dari Ulama-Ulama tentang penafsiran yang diambil dari apa yang tersirat dan tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah tentang Haram atau tidaknya aktifitas bernyanyi. Beberapa Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I, Imam Ahmad, Abu Thayyib Ath-Thabari, Umar bin Abdul Azis dan Ulama besar dan ahli hadist Al-Ajurri memfatwakan haramnya nyanyian. Ulama-ulama tersebut menggunakan beberapa dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang kemudian mereka tafsirkan sebagai ketegasan Islam dalam mengharamkan nyanyian. Pertama, dari firman Alloh SWT dalam surat Al-Isra “Dan, hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan suaramu.” (Al-Isra : 64). Para ahli tafsir mengatakan bahwa kata suara disini adalah nyanyian. Kemudian firman Alloh SWT dalam surat Luqman yang berbunyi “Dan, diantara manusia (ada) yang menggunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Alloh tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Alloh itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat dikedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.” (Luqman: 6-7). Kalimat “perkataan yang tidak berguna” dalam surat tersebut juga ditafsirkan sebagai nyanyian. Dan firman Alloh dalam surat Al-An`am yang berbunyi, “Dan, tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.” (Al-An`am: 70). Kata “senda gurau” dalam surat tersebut oleh beberapa Ulama diatas juga ditafsirkan sebagai nyanyian.
Tidak hanya dari Firman Alloh, para ulama tersebut juga menggunakan Hadist sebagaimana dalam Sabda Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi “Sungguh pasti akan ada beberapa golongan di antara umatku yang menghalkan perzinaan, sutera, khamar dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari). Keyakinan para ulama ini akan haramnya nyanyian juga ditegaskan dalam sabda Nabi “Seseungguhnya aku dilarang akan dua suara yang begitu bodoh dan hanyut dalam kemaksiatan: suara ketika ada nikmat dan suara ketika ada musibah.” (HR Al-Hakim dan Baihaqi). Haramnya nyanyian juga dipertegas dengan adanya ijma (konsensus/kesepakatan) sejumlah ulama seperti Al-Laits bin Sa’ad, ulama-ulama mesir dan ulama-ulama Kufah, Hammad, Abu Ubaid, Ishaq bin Rahawaih, An-Nakha’I, ijma tersebut menyimpukan bahwa dalam nyanyian dan musik terdapat unsur-unsur melalaikan hati seseorang dari agamanya (syariat), menyekutukan Alloh dengan cinta-cinta (dunia) kepada selainNya.
Tetapi tidak semua ulama mengharamkan nyanyian berdasarkan tafsirnya dari apa yang telah tersurat dalam Al-Quran, seperti halnya Ibnu Hazm yang membolehkan menyanyi. Persoalan fatwa adalah persoalan tafsir dan memberikan dalil dalam setiap permasalahan merupakan bagian dari dinamika yang terjadi dalam dunia Islam sebagai bagian ijtihad dalam memecahkan sebuah persoalan. Ulama-ulama dari kalangan moderat seperti halnya yang menjadi mainstream Islam di Indonesia, tentu menganggap aktifitas menyanyi tidak masuk kategori sesuatu yang diharamkan. Penulis kemudian mencari jalan tengah dari dua perbedaan fatwa ulama tersebut, artinya penulis tidak mengharamkan nyanyian sepanjang lirik dalam nyanyian tersebut tidak mengandung makna menyekutukan keyakinan kepada Alloh SWT dan berkonotasi negatif, seperti halnya lirik-lirik yang mengagung-agungkan cinta berlebihan terhadap lawan jenis, menjelek-jelakan, lirik yang mengandung makna kekerasan bahkan lirik-lirik yang mengumbar syahwat yang mengantarkan pikiran si pendengar pada hal-hal asusila sebagai sarana menuju kemaksiatan. Bila adanya justifikasi haram pada semua nyanyian, apakah lagu-lagu yang bertemakan religi seperti lagu-lagu Opik yang begitu banyak mengagungkan nama Alloh, keimanan dan ketaqwaan juga dikategorikan haram, atau misalkan lagu-lagu Iwan Falls yang selalu lantang meneriakan tentang sisi kemanusiaan, kepedulian dan ketidakadilan juga dikategorikan haram.
Yang penting, dari perbedaan fatwa dalam mengkategorikan haram atau tidaknya menyanyi, apalagi dalam konteks ini dibangun sebuah sarana khusus bernyanyi (karaoke), pemerintah kota Tasikmalaya bisa mengkajinya dalam ranah teologis, karena sebagai kota yang mengemban amanah Kota santri yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islami, mau tidak mau landasan teologis ini yang diambil dari Al-Quran sebagai pedoman utama umat Islam harus dijadikan referensi utama ketimbang pendekatan peningkatan PAD atau masalah pariwisata. Fatwa ulama yang berbeda-beda seperti halnya yang penulis paparkan, harus dijadikan sebagai bahan kajian bilamana pemerintah akan dengan tulus merevisi kebijakannya tentang izin usaha karaoke.
Komitmen pemerintah untuk membuat aturan tegas bahwa setiap karaoke yang beroperasi di Tasikmalaya tidak boleh memainkan lagu-lagu yang berlirik menyekutukan keyakinan kepada Alloh SWT dan berkonotasi negatif, seperti halnya lirik-lirik yang mengagung-agungkan cinta berlebihan terhadap lawan jenis, menjelek-jelakan, lirik yang mengandung makna kekerasan bahkan lirik-lirik yang mengumbar syahwat dalam list pemutar lagu, adalah sebuah jalan tengah dari fatwa-fatwa ulama itu.

Dimuat pada kolom Wacana Harian Radar Tasikmalaya edisi Rabu 18 Mei 2011
Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil

Selasa, 10 Mei 2011

Kota Santri Yes, Karaoke Oke


Oleh:
Rino Sundawa Putra

“Kota santri yes, Karaoke oke”. Itulah kira-kira ucapan narator ketika menuturkan sebuah berita dalam Radar Sore edisi kamis 5 Mei 2011 di stasiun televisi lokal Radar TV Tasikmalaya, yang menayangkan berita tentang peresmian Karaoke baru di kota Tasikmalaya yang dihadiri sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintahan Kota Tasikmalaya. Sekilas, berita tersebut terkesan sebagai berita ringan yang berisi informasi tentang dunia hiburan di Kota Tasikmalaya, tetapi penulis mulai menambah volume suara televisi ketika “sasaran” tembak berita tersebut mengarah pada ikon kota santri dan situasi religius yang “konon” katanya menjadi gambaran ketika orang berbicara tentang kota Tasikmalaya.

Bagi penulis, reporter dan narator berita pada sore itu, begitu cerdas dalam menyusun kata dan kalimat terutama cerdas mencari angle (sudut) lain dari acara persesmian karaoke baru di Kota Tasikmalaya, ada sudut lain yang lebih punya nilai kritis dari sekedar berita informatif dari hanya menjelaskan pendapatan daerah dari pajak hiburan Karaoke. Berbicara tentang dunia hiburan bernama Karaoke tentu akan terkesan biasa-biasa saja bila itu berada di Batam misalkan, atau di Bali dan Jakarta, tetapi ketika berbicara Karaoke di kota Tasikmalaya jelas ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan besar. Orang sering mengidentikan bahwa dunia hiburan yang bernama Karaoke syarat akan konotasi negatif, dan identik dengan hiburan dunia “malam”, dan itulah titik persoalannya. Menghubungkan sarana hiburan bernama Karaoke dengan ikon Tasik sebagai Kota Santri adalah hal yang sangat kontras dan seolah-olah membenturkan antara dasollen (harapan) dan dasein (kenyataan/fakta). Kira-kira itulah angle terbaik yang ingin diangkat dari berita tersebut.

Bagi penulis konotasi Karaoke sebagai tempat hiburan memang bisa diperdebatkan, karena tidak semua orang menganggap bahwa hiburan Karaoke selalu mengarah pada hal-hal yang bersifat negatif, atau dalam istilah agama sebagai hal yang mengarah pada kemaksiatan (prostitusi dan minuman keras), apalagi beberapa tempat Karaoke yang sudah berdiri mengidentifikasikan sebagai sarana hiburan Keluarga. Tetapi bila kita berbicara tentang situasi baik itu diambil dari latar historis, sosial, kultural bahkan latar yuridis, Tasikmalaya ini merupakan sebuah masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari harapan (dasollen) untuk terus selamanya mewarisi nilai-nilai Islami, nilai religius baik itu dalam hal-hal yang bersifat nuansa keagamaan ataupun hal-hal yang bernuansa kehidupan sosial, sehingga secara yuridis pemerintah dan DPRD juga didukung oleh tokoh-tokoh ulama dan masyarakat kota Tasikmalaya dengan penuh semangat membentuk Perda Nomor 12 Tahun 2009 tentang Tata Nilai, dimana Perda ini sangat gamblang sekali menjadi legitimasi hukum dalam upaya-upaya pencegahan bahkan sanksi dalam rangka merawat nilai-nilai religius keagamaan di kota Tasikmalaya. Dan ketika berbicara tentang makna religius, semua orang pasti sepakat bahwa makna religius akan berkaitan dengan ketaatan kita dalam melaksanakan aturan-aturan agama, agama apapun itu, karena bagi penulis makna religius itu mengandung arti yang sangat universal, dimana semua agama memahami makna religius sebagai sebuah ketaatan yang erat kaitannya dengan keyakinan kepada Tuhan, artinya agama apapun itu jelas tidak akan menghendaki jalan-jalan menuju kemaksiatan (prostitusi dan minuman keras), dan esensi untuk menghindarkan diri dari bentuk-bentuk kemaksiatan menurut berbagai agama adalah wajib. Hanya kebetulan yang menjadi mayoritas adalah pemeluk Islam sehingga makna religius yang ada di kota Tasikmalaya ini adalah makna yang terkandung dalam ajaran Islam.

Secara dasollen (harapan), pemerintah, DPRD tokoh-tokoh Ulama dan masyarakat Tasikmalaya meyakini bahwa Perda Tata Nilai tersebut bisa memagari dan merawat nuansa religius masyarakat Tasikmalaya dari perbuatan-perbuatan yang akan menodai jiwa dan semangat Tasikmalaya sebagai kota santri, maka secara dasein (kenyataan) semua pihak harus peka terhadap semangat itu. Karena Perda Tata Nilai ini mengandung legalitas yuridis sebagai upaya mencegah perbuatan-perbuatan yang mengarah pada tindakan kemaksiatan (Madharat), maka perlu konsistensi dan prinisip yang kuat dari semua pihak untuk mencegah sekecil apapun ruang-ruang yang akan mengarah kepada kemaksiatan, dan pemerintah yang harusnya menjadi garda terdepan menjaga konsistensi itu.

Penulis sangat menghargai sekali perbedaan pendapat yang menganggap bahwa hiburan Karaoke adalah sebatas hiburan yang tidak melulu diidentikan dengan konotasi negatif, tetapi pandangan itu jelas harus diuaraikan dengan data dan fakta, khususnya yang terjadi di Kota Tasikmalaya. Artinya bila pemerintah mau “merestui” berdirinya tempat Karaoke dengan asumsi peningkatan pajak dan retribusi daerah juga penyerapan tenaga kerja, pemerintah harus betul-betul yakin dan secara terus menerus melakukan pengawasan bahwa tempat Karaoke yang sudah dan akan beroperasi di

Tasikmalaya bebas dari segala praktek yang akan menjurus kepada kemaksiatan. Ini sebagai upaya pembuktian bahwa selama ini pemerintah tetap konsisten dengan upayanya mengimplementasikan Perda Tata Nilai. Bila hal ini tidak dilakukan, atau bahkan pemerintah kecolongan karena terbukti adanya praktek yang menjurus pada kemaksiatan, jelas bahwa pemberian ijin usaha Karaoke mengandung konsekwensi yang sangat besar bagi kredibilitas pemerintah, DPRD, ribuan pesantren, lembaga keagamaan, tokoh-tokoh Ulama dan masyarakat kota santri pada umumnya. Atau salah satu alternatif sebagai upaya pencegahan Karaoke menjadi tempat maksiat adalah membuat ketentuan berbasis pada regulasi tentang ijin usaha Karaoke dengan menerapkan syarat yang harus menjamin bahwa Karaoke tersebut tidak disalah gunakan sebagai sarana yang mengarah pada bentuk-bentuk kemaksiatan. Seperti halnya ijin operasi tidak boleh sampai larut malam, fasilitas Karaoke antar ruangan harus terbuka sehingga bisa dilihat oleh pengunjung lainnya, menggunakan cahaya yang terang tidak boleh remang-remang atau tidak boleh ada pemandu lagu (biasanya perempuan).

Sebagai tindak lanjut peran media, perlu kiranya liputan lanjutan bersifat investigatif yang menyoroti praktek usaha hiburan Karaoke di Tasikmalaya. Sebagai pilar ke-empat demokrasi, Media punya hak sekaligus juga punya tanggung jawab yang sangat besar sebagai pengawas yang ikut membantu menyelidiki dan membuktikan bahwa Karaoke yang telah beroperasi di Tasikmalaya murni sebagai sarana hiburan keluarga, tidak disalah gunakan untuk aktifitas negatif. Liputan media bahkan bisa menjadi fasilitator antara pemerintah, pengusaha Karaoke dan masyarakat dalam menjembatani pemahaman bersama, itulah tanggung jawab media kepada publik.

Sekali lagi penulis tidak bermaksud melakukan justifikasi bahwa Karaoke selalu identik dengan hal-hal yang bersifat negatif, karena memang faktanya banyak Karaoke yang murni hiburan untuk keluarga seperti halnya Karaoke yang ada di Mall, tetapi dalam konteks Tasikmalaya, sebagai kota yang mengemban amanah tentang prinsip beragama yang kuat maka perlu kiranya kita peka terhadap persoalan-persoalan yang akan menimbulkan resistensi terhadap makna religius atau ikon kota santri yang dimiliki oleh Tasikmalaya. Untuk itulah sebagai warga kota Tasikmalaya, penulis mencoba membagi kepekaan tersebut sebagai bahan renungan kita bersama.

Dimuat pada kolom Wacana Harian Radar Tasikmalaya Edisi 10 Mei 2011

Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil

Jumat, 06 Mei 2011

Kapitalisme, Gaya Hidup dan Remaja


Oleh:
Rino Sundawa Putra

Berangkat dari kegelisahan penulis tentang fenomena dan fakta maraknya remaja yang terjerumus pada prilaku hedonis yang berorientasi pada kesenangan duniawai salah satunya adalah menjadi anggota geng motor, bolos sekolah, merokok, nongkrong di Mall, Kafe atau Warnet bahkan prilaku seks bebas. penulis kemudian merenungkan beberapa pertanyaan, gejala apa ini? internalisasi nilai apa yang merasuki jiwa remaja ini, sehingga prilaku kriminal dan melanggar norma-norma (agama, sosial dan hukum) dianggap bagian untuk menunjukan ekskitensi diri? Dan apa penyebabnya?. Atas dasar itulah kemudian penulis mencoba mencari jawabannya termasuk mencari legitimasi teoritis, konseptual dan akademis untuk menemukan jawaban dari beberapa pertanyaan itu.

Masa Transisi
Remaja adalah sosok yang secara psikologis berada dalam masa transisi menuju kematangan berpikir, emosi, dan kematangan untuk bisa mengidentifikasi dirinya sendiri, baik secara individu ataupun secara sosial (jati diri). Pada masa-masa ini, remaja seolah berada dalam level pencarian, kemudian akan mengeksplorasi dirinya sendiri dengan perwujudan mencari perhatian dan eksitensi diri. pada masa transisi ini, remaja sangat rentan sekali disusupi oleh pandangan-pandangan yang ia lihat secara visual kemudian ia terjemahkan ke dalam pikiran mereka. Sayangnya, pandangan-pandangan visual yang mereka saksikan sehari-hari adalah pandangan-pandangan yang membawa pikiran mereka terhadap idealitas semu yang selalu menginginkan kesenangan semata alias hedonisme. Bagi penulis, hedonisme adalah kata kunci untuk bisa menganalisa bagaimana para remaja ini bisa terjebak pada prilaku yang menyimpang ini, dan kemudian timbul pertanyaan lanjutan, bagaimana prinsip hedonis ini bisa terinternalisasi pada sebagian besar remaja?.


Gaya hidup Lahir dari Rahim Kapitalisme

Dalam kajian teori kritik sosial, penulis mencermati tentang adanya kesadaran “palsu” yang harus diterima oleh masyarakat dengan tujuan untuk melanggengkan sistem yang ada (Kapitalisme). Kesadaran “palsu” ini menjebak manusia kepada hal-hal yang sifatnya gaya hidup, materialisme semu yang membawa setiap individu seolah-olah berada pada zona nyaman eksistensi dirinya. Akan tetapi zona nyaman yang dianggap ideal oleh sebagian individu, terutama remaja yang masih dalam masa pencarian jati diri adalah zona nyaman yang mencontoh budaya-budaya popular yang mengidentikan dirinya dengan gambaran-gambaran (visualisasi) yang mereka lihat, sayangnya visualisasi yang sering ditampilkan oleh media-media terutama media Televisi adalah visualisasi tentang makna hidup yang dipenuhi dengan hasrat memenuhi hal-hal yang sifatnya “kesenangan” yang diidentikan dengan pemilikan barang yang mengubah pandangan dan prilaku setiap individu.

Dalam era teknologi informasi seperti sekarang ini, ada sebuah era baru dimana antara industri dengan media terjadi ketergantungan yang saling menguntungkan. Ketika Industri begitu banyak menghasilkan berbagai barang dan jasa, maka diperlukan sebuah media informasi yang secara massif menginformasikan (iklan) tentang produk tersebut, dengan tujuan terjadi konsumsi massa akan sebuah produk dimana keuntungan besar menjadi targetnya. Disinilah berbagai cara teknik pemberian informasi (iklan) tentang sebuah produk dilakukan, termasuk mengeksploitasi sisi gaya hidup, artinya bagaimana iklan tersebut bisa merubah kebutuhan sekunder (tidak utama) seolah-olah menjadi kebutuhan primer (utama) dengan frame gaya hidup. Inilah kapitalisme babak baru yang begitu massifnya sehingga merubah pandangan, sikap dan gaya hidup seseorang menjadi individu yang konsumtif, individu yang memposisikan kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer demi memuaskan gaya hidupnya dengan harapan eksistensinya akan lebih diakui. Kapitalisme sekarang ini adalah kapitalisme yang mengeksploitasi kesadaran “palsu” manusia akan nilai sebuah benda (materi) dan kesenangan. Kapitalisme menciptakan masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup.

Kesadaran “palsu” ini akhirnya memberikan pandangan baru pada setiap individu bahwa kebahagiaan identik dengan hal-hal yang bersifat materi. Punya Handphone baru adalah kebahagiaan, punya mobil atau motor terbaru adalah kebahagian, rumah mewah dan pakaian bermerek adalah kebahagiaan, berlama-lama di salon adalah kebahagiaan, itulah sebagian indikator kebahagiaan bagi seseorang yang telah terjebak pada kesadaran “palsu” mengenai idealitas hidupnya.

Ketika manusia terus-menerus mengejar kesenangan demi memuaskan gaya hidupnya (akumulasi kesadaran palsu), maka pada titik tertentu manusia tersebut akan menanggalkan nilai-nilai moral, etika, norma-norma sosial bahkan melanggar norma susila demi mencapai gaya hidup tertentu, dan remaja adalah korban yang paling besar dari paradigma dan cara berpikir baru ini, karena pada masa-masa transisi ini, masa persimpangan untuk memilih, remaja sangat rentan untuk terjebak pada hal-hal negatif. Akhirnya menjadi anggota geng motor, bolos sekolah, merokok kemudian nongkrong di Mall dan di Warnet atau terjebak pada seks bebas adalah pilihan baru untuk menjajal eksistensinya demi mencapai gaya hidup yang dianggapnya sebagai gaya hidup yang ideal. Maka tidaklah mengherankan bila beberapa waktu lalu Radar Tasikmalaya memberitakan fenomena esek-esek di Tasikmalaya dimana motivasi salah satu siswi dan mahasiswi menjadi PSK dan simpanan laki-laki hidung belang adalah untuk memuaskan gaya hidupnya yang konsumtif, seperti membeli Handphone baru, baju baru, perawatan di salon dan makan-makan di Mall atau Kafe. Inilah pola kehidupan yang menuntut seseorang individu untuk selalu memenuhi kebutuhan gaya hidupnya, apapun caranya walaupun harus melanggar norma-norma yang berlaku.

Sebagai salah satu usaha untuk menghindarkan para remaja dari pandangan-pandangan hedonis ini, perlu kiranya terjadi sinergitas usaha antara orang tua dan para pendidik (guru, dosen, ulama dan tokoh masyarakat) untuk memberikan nilai-nilai kesederhanaan dalam hidup. Tanamkan nilai-nilai kerja keras guna menjauhkan para remaja dari pandangan yang serba instan dan serba mudah untuk mendapatkan sesuatu. Sebagai salah satu upaya bagi para orang tua, hendaknya jangan dengan mudah memberikan sesuatu yang diminta oleh anak yang sifatnya materi kebendaan, seperti Handphone, laptop atau motor baru, ini sebagai upaya memupuk nilai-nilai kesederhanaan pada anak. Berikan filter pada anak-anak terhadap apa yang ditontonnya di televisi, jauhkan para remaja dari tayangan-tayangan iklan, sinetron atau film yang menonjolkan kemewahan, gaya hidup atau pergaulan ala metropolis dan konsumtif apalagi tayangan-tayangan yang mengumbar syahwat, seperti fislm-film bertema komedi-seks atau horror-seks.

Di muat pada kolom Wacana Harian Radar Tasikmalaya Edisi Kamis 5 Mei 2011

Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil

Senin, 25 April 2011

Batas-Batas Pluralisme


Oleh:
Rino Sundawa Putra

Film “?” (Tanda Tanya) yang dibuat oleh Hanung Bramantiyo memang pantas menjadi kontroversi. Film yang mengusung tema pluralisme ini menjadi pujian sekaligus cercaan berbagai banyak pihak. Bagi penulis tema pluralisme yang ingin dijadikan sebagai pesan oleh Hanung merupakan keinginan yang sangat konstruktif dalam membangun tatanan sosial bangsa yang multi etnis dan multi agama. Tujuan mulia film “?” (Tanda Tanya) ini memang perlu diapresiasi sebagai salah upaya meredam konflik-konflik yang berbau suku, agama dan ras yang memang kerap terjadi di Indonesia, sekaligus juga memberi pesan dan pemahaman bahwa bangsa ini dibangun bukan berdasarkan suku, agama dan ras tertentu tapi dibangun berdasarkan nilai-nilai kebangsaan yang menghargai perbedaan, tidak ada dominasi mayoritas dan minoritas, karena karakter bangsa memiliki pondasi kebhinekaan yang universal.

Akan tetapi, pluralisme dalam konteks ini juga harus memiliki semangat pluralisme yang mengikat dimana mempunyai batas-batas berlakunya. Pluralisme tidak bisa dipaksakan untuk menjamah wilayah-wilayah yang memang mempunyai nilai teritori tertentu yang tidak bisa disama ratakan antara satu dengan yang lainnya. Ruang pluralisme hanya berada dalam wilayah-wilayah sosial, karena tujuan sebenarnya nilai pluralisme adalah memberi pemahaman universal yang bersifat hubungan manusia dengan manusia lainnya yang bersifat vertikal dengan mengusung penghargaan dan sikap toleransi antar sesama, bukan bersifat horizontal antara manusia dengan Tuhan.
Dalam film ini sebetulnya tidak begitu jelas makna pluralisme yang diusungnya, karena pluralisme dalam Film ini tidak menggambarkan batas-batas dimana paham pluralisme ini harus berlaku. Bila pluralisme dalam konteks keberagamaan agama yang ingin diusung, seharusnya ada batas-batas tertertentu yang tidak boleh mencampur adukan antara relasi sosial antara pemeluk agama dengan batasan ketentuan (syariat) yang berlaku dalam agama masing-masing, artinya Tuhannya pemeluk Islam tidak bisa disamakan dengan Tuhannya pemeluk Kristen, begitu juga Tuhannya orang Konghucu tidak bisa disamakan dengan Tuhannya orang Islam atau Kristen walaupun semua Tuhan dari masing-masing agama memiliki nilai kebenaran mutlak menurut pemeluknya masing-masing, tetapi masing-masing pemeluk agama memiliki standarisasi (syariat) tertentu dalam meyakini nilai kebenaran Tuhannya masing-masing. Penulis pikir, tidak semua orang Islam akan sepakat bila menyamakan Tuhannya (Alloh) dengan Tuhannya orang Kristen (Yesus), atau Tuhannya pemeluk Konghucu (Dewa) dengan Tuhannya pemeluk Islam atau Kristen akan dikatakan sebuah nilai pluralisme. Hal inilah yang kemudian memicu protes dan ketidak-setujuan dari beberapa pihak pada film garapan Hanung ini. Wajar saja bila Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa “risih” dengan makna pluralisme yang menjadi pesan dalam film ini. Bahkan dengan lantang FPI menganggap film ini sebagai film pemurtadaan. Pemurtadaan dalam kacamata penulis bukan pemurtadan dimana seorang pemeluk agama pindah menjadi pemeluk agama lain, tapi pemurtadan dalam konteks ini yaitu mengaburkan makna Tuhan menjadi nilai kebenaran yang universal yang sudah tidak lagi dibatasi oleh syariat-syariat dari masing-masing agama yang berlaku. Logikanya, kalau makna keberanaran Tuhan sudah dianggap universal, berati menganggap semua agama yang ada sudah tidak ada lagi, karena sudah tidak dibatasi oleh ketentuan (syariat) masing-masing dalam meyakini Tuhannya masing-masing.

Bagi penulis, kaburnya makna pluralisme keberagamaan agama dalam film ini yang paling menonjol ada pada salah satu bagian film ketika tokoh yang telah pindah keyakinan bernama Rika (diperankan oleh Endhita) menyimpulkan bahwa Tuhan Yesus sebagai Tuhan yang Ar Rahim dan Ar Rahman dalam sebuah pertemuan Gereja, sedangkan dalam konteks syariat, sifat Tuhan yang Ar Rahman dan Ar Rahim hanya diyakini oleh pemeluk agama Islam. Penulis yakin hal ini akan menimbulkan kekecewaan umat Islam dan Kristen, akhirnya pesan pluralimse yang ingin disampaikan malah menjadi pesan yang membenturkan. Dalam adegan ini jelas sekali, Hanung sebagai Sutradara tidak bisa membatasi nilai pluralisme yang dimaksud karena menganggap semua Tuhan dan agama memiliki kebenaran yang universal. Kalau semua agama dan Tuhan memiliki nilai kebenaran yang universal berati sudah tidak ada lagi makna pluralisme karena semua agama dan Tuhan benar dan tidak ada bedanya dari sisi keyakinan, padahal makna pluralisme yang subtansial adalah bagaimana membangun pemahaman pluralisme yang memiliki nilai toleransi untuk mau menghargai perbedaan yang timbul akibat keyakinan dari agama yang berbeda dalam konteks atau ranah sosial yang sifatnya horizontal (hubungan manusia dengan manusia) bukan dalam ranah yang sifatnya vertikal (manusia dengan Tuhan).

Pluralisme Versi Rasululloh

Jauh sebelum konsep pluralisme modern bergema, sebelumnya Nabi Muhammad SAW telah mempraktekan nilai pluralisme yang hakiki pada saat membangun peradaban di Madinah. Pada masa itu bagaimana penghargaan Rasullulloh kepada umat-umat diluar Islam (Yahudi dan kaum Majusi) dalam konteks relasi sosial, karena umat-umat tersebut sebagai salah satu kelompok masyarakat Madinah yang secara sosial, sebagai pemimpin di Madinah Nabi mutlak harus melindungi rakyatnya apapun agama atau kepercayaannya. Praktek inilah yang oleh beberapa Ilmuan politik barat dianggap sebagai salah satu awal atau embrio lahirnya proses demokrasi dalam Islam.

Walaupun Nabi dan umatnya sangat menghargai makna perbedaan dimana mau melindungi dan mengakomodir umat diluar umatnya, beliau tidak pernah kompromi ketika menyangkut masalah akidah dan syariat, artinya ada batasan-batasan tertentu ketika Rasullulloh mempraktekan nilai pluralisme, mana perbedaan yang bersifat sosial (simbol dan atribut), mana perbedaan yang bersifat teologis (akidah, keyakinan dan syariat) dimana tidak semua ranah dapat dikategorikan sebagai nilai yang bersifat universal. “Agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu” adalah sebuah prinsip kuat yang dipegang Rasululloh dan para sahabat-sahabatnya ketika berinteraksi dengan kaum non muslim kala itu. Kalau dikaji secara seksama, makna dalam kalimat “Agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah Agamamu” mengandung banyak sekali definisi dan makna pluralisme yang sesungguhnya, karena disinilah terjadi pemisahan dan pengertian tentang pluralisme yang membedakan antara hal-hal yang bersifat kepekaan sosial (toleransi) dan hal-hal yang bersifat privat (keyakinan) yang dilindungi oleh hak azasi setiap manusia, dan sama sekali tidak mengandung unsur paksaan agar kalangan non muslim menjadi muslim. Itulah penghargaan terhadap pluralisme dan toleransi antar pemeluk agama yang sebenarnya, yang berabad-abad sebelumnya telah dipraktekan oleh Nabi Muhammad SAW.


Dimuat pada kolom Wacana Harian Radar Tasikmalaya edisi Senin 25 April 2011


Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil

Batas-Batas Pluralisme

Senin, 21 Maret 2011

Ekspektasi Hubungan Islam dan Amerika di Bawah Kepemimpinan Obama



Oleh: Rino sundawa PUTRA

Kebijakan politik luar negeri Bush begitu memposisikan Islam baik itu Islam sebagai agama, ideologi dan negara sebagai lawan tanding dalam pergulatan politik luar negeri Amerika. Dibawah kepemimpinan Bush banyak kebijakan militer dan strategi politik luar negerinya yang dianggap tidak adil terhadap dunia Islam, bahkan Bush tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer melakukan invasi ke negara-negara yang dianggap sarang teroris yang dianggap merintangi perdamaian dunia. Irak dan Afganistan adalah beberapa negara yang dijadikan “proyek” awal kebijakan luar negeri Bush mengatasnamakan perdamaian dunia dan terorisme. Terorisme dalam pandangan Bush, selalu lahir dari rahim gerakan-gerakan Islam. Pengklasifikasian Islam radikal dan moderat digunakan oleh Bush sebagai pemetaan, Mana Islam teroris dan mana Islam agama. Bush telah membuat gap hubungan Islam dan barat, termasuk di Indonesia. Amerika telah dibuat sebagai negara antagonis bagi dunia Islam karena kebijakan Bush yang anti Islam.

Tinjauan Ilmiah Benturan Peradaban
The Clash of Civilization, itulah tesisnya Samuel hutington yang menggemparkan, sekaligus juga dianggap provokatif. Dalam kajiannya, Hutington mengklasifikasikan beberapa peradaban, salah satunya perdaban Islam yang diramalkan oleh Hutington sebagai calon kekuatan global baru yang praktis akan menjadi kompetitor kekuatan global tunggal Amerika. Hutington meramalkan, setelah runtuhnya kekuatan kiri Uni soviet sebagai kekuatan pembanding Amerika pasca perang dingin, Islam-lah yang kemudian akan bangkit menyusun dominasi baru menandingi Amerika sebagai negara adidaya, dan benturan peradaban pun tidak dapat dihindari sebagai suatu keharusan siklus percaturan politik global, Amerika mau tidak mau harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan Islam, terutama Islam yang dianggap radikal. Celakanya, tesisnya hutington ini dipercaya, bahkan menjadi referensi untuk strategi politik luar oleh para politisi Amerika, termasuk Bush.
Tidak hanya disitu, Hutington kemudian menyodorkan data-data baru dari hasil polingnya yang dilakukan pada tahun 2001-2002 di sembilan negara Islam. Poling tersebut menunjukan bahwa sebagian kelompok-kelompok Islam tidak suka terhadap kebijakan-kebijakan politik luar negeri Amerika. Yang lebih provokatif lagi, dalam bukunya, Who Are We?: The Challenges to America National Identity, 2004, Hutington menunjukan kekuatan-kekuatan Islam militan akan bangkit sebagai pengganti kekuatan Uni Soviet. Untuk melawan kekuatan-kekutan Islam Militan Amerika harus melakukan apa yang disebutnya sebagai perang baru (new war). Perang baru ini sebagai jalan menghadang berkembangnya potensi kekuatan-kekuatan Islam militan yang terus berkembang. Jika dilihat dari tinjauan yang dikemukakan oleh Hutington, isu terorisme yang gencar “dipromosikan” Amerika, adalah satu bagian perang baru itu (new war) dan ini menyangkut percaturan geopolitik di Asia tenggara, khususnya Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim.

Harapan Baru di Bawah Obama
Pada saat gencar-gencarnya menjelang Pemilu 2008 di AS, kalangan dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia bahkan dunia mulai menaruh hati pada calon Presiden dari partai Demokrat, Barack Husein Obama. Harapan mengenai hubungan Islam dan barat yang lebih adil, tidak ada kecurigaan dan lebih moderat dari kebijakan politik luar AS. Harapan agar Obama akan merubah status AS sebagai negara antagonis bagi dunia Islam dalam menjalankan politik luar negerinya, ditinjau dari berbagai sudut pandang. Obama diharapkan tidak melakukan politik intervensi terhadap negara-negara Islam seperti yang dilakukan pendahulunya.

Harapan kalangan Islam terhadap Obama ini memang begitu besar dirasakan, bahkan sebagian kelompok muslim yang berkarakter moderat di Indonesia, meyakini lawatan Obama ke Indonesia kali ini adalah sebagai upaya Obama membangun citra positif hubungan AS dengan Islam, hal ini ditandai dengan rencana kunjungan Obama ke mesjid Istiqlal Jakarta yang menjadi simbol besar umat Islam di Indonesia. Walaupun memang ada beberapa kelompok Islam yang menentang kedatangan Obama ke Indonesia, karena menganggap Obama tidak jauh berbeda dengan presiden pendahulunya, Bush.

Fakta yang kemudian menjelaskan betapa adanya harapan besar terhadap kepemimpinan Obama dalam merevisi hubungannya dengan Islam, adalah sambutan positif tokoh-tokoh Islam salah satunya dari ketua PP Muhamadiyah Din Syamsudin dan tokoh NU KH. Hasyim Muzadi, kedua tokoh ini bisa dijadikan indikator bahwa hampir semua umat Islam di Indonesia menyambut baik kedatangan Obama, karena kedua tokoh ini adalah pemimpin dua organisasi Islam besar di Indonesia. Media massa juga tidak terlalu di sibukan dengan liputan aksi-aksi penolakan terhadap kedatangan Obama seperti halnya waktu kedatangan Bush, justru yang menonjol adalah liputan tentang dukungan dan perasaan gembira masyarakat Indonesia atas kedatangan presiden ke-44 AS itu. Hal ini juga dipengaruhi oleh latar belakang hidup Obama yang pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia juga beredarah muslim, seolah ada suasana kebatinan antara masyarakat Indonesia dengan Obama.

Memang, kurang komprehensif bila harapan perubahan itu muncul dari perspektif latar belakang kehidupan Obama yang berdarah muslim dan pernah tinggal di Indonesia. Kita perlu melihat lebih luas lagi faktor dan fakta apa sehingga kita sebagai bagian dari masyarakat muslim dunia, memberi harapan positif kepada Obama terhadap kebijakannya mengenai hubungan barat dengan Islam. Percaturan politik kawasan timur tengah rasanya hingga kini masih ada yang mengganjal, blokade Israel atas jalur gaza, pembangunan ilegal pemukiman yahudi di tanah palestina masih berlangsung, tapi ada perkembangan baik di kawasan itu, kekuatan revolusioner Islam di Iran yang dipimpin Akhmadinejad yang dulu dianggap poros “setan”, oleh Bush, sudah mulai membuka hati terhadap Obama, ada proses mediasi karena pertimbangan perubahan arah kebijakan politik luar negeri oleh Obama. Apalagi survei di 11 negara Arab pada tahun 2008, ada peningkatan tingkat penerimaan masyarakat Arab terhhadap kepemimpinan baru Obama setelah Bush. Fakta-fakta ini harus menjadi perbandingan supaya lebih proporsional dalam memberikan harapan baru terhadap Obama.

Salah satu poin penting ketika menagih janji terhadap Obama adalah pernyataannya mengenai hubungan Islam dengan barat dalam pidatonya, "Kepada dunia Muslim,kami menharapkan cara-cara baru hubungan ke depan,berdasarkan kepentingan bersama dan prinsip saling menghormati". Itulah poin penting komitmen Obama yang berani merubah kebijakan luar negeri negaranya, pendekatan militer, harus dirubah dengan pendeketan diplomasi. Memang, komitmen tersebut perlu kita analisa dari berbagai faktor. Faktor dari dalam negerinya juga menjadi bahan pertimbangan gerak langkah Obama dalam menepati komitmennya itu. Dari sisi kelembagaan negara AS, sejauh mana dinamika politik di parlemen AS. Ini menjadi bumerang manakala komposisi parlemen didominasi oleh kelompok-kelompok yang masih meyakini Islam sebagai ancaman terbesar kedigdayaan AS yang menggunakan tesisnya Hutington sebagai referensi. Ini juga berlaku pada kondisi di partainya sendiri, Demokrat. Demokrat, walaupun tidak se-konservatif partai Republik, tetap saja ada potensi dimana lobi-lobi dalam internal partai dari kelompok-kelompok penganut teori benturan peradaban masih kuat, dan dapat mempengaruhi komitmen Obama. Sebagai pemenang Nobel Perdamaian pada tahun 2009 dimana salah satu pertimbangan pemberian Nobel itu karena keberhasilan Obama dalam menciptakan hubungan baru dengan dunia Islam, tentunya kita percaya, sejauh ini Obama masih konsisten dengan komitmennya, dan harapan baru itu hingga saat masih ada.

Kita berharap, selamanya Obama akan tetap konsisten menjalankan komitmennya untuk merivisi kembali kebijakan dan strategi politik luar negeri Bush. Tesisnya Samuel Hutington semoga tidak menjadi pertimbangan untuk dijadikan resep dalam menjalankan politik luar negerinya terhadap dunia dan negara-negara Islam. Masyarakat muslim dunia, khususnya di Indonesia disisi lain menaruh harapan positiv terhadap kepemimpinan Obama, tapi harus jeli melihat perkembangan kebijakan luar negeri Obama, banyak faktor yang mempengaruhinya.