BERBAGI UNTUK SALING MENCERAHKAN..

Apakah dunia maya se-fana dunia nyata?
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..

Senin, 01 Agustus 2011

Mewaspadai Iklanisasi dan Kapitalisasi Agama di Bulan Ramadhan


Dikutip dari tulisan Muhhamadun AS dikolom Wacana Radar Tasikmalaya edisi Sabtu 30 Juli 2011

Menjelang Ramadhan, gemuruh umat Islam sudah terasa mulai sekarang. Lihatlah berbagai tayangan televisi yang sudah “berubah” dengan jubah agama. Hampir semua stasiun televisi berlomba-lomba menyajikan program baru beridentitas agama. Para selebritis juga mengubah gaya hidup (mode), bahkan iklan-iklan produk di televisi sudah menyajikan nuansa Ramadhan.
Semua kemasan program televisi dan iklan itu didesain sedemikian rupa untuk membangun persepsi “Religius”. Religiusitas yang dipersepsikan dalan iklan itu diharapkan mampu menarik simpati publik yang sedang mendamba keberkahan dibulan suci.
Apa yang terjadi dalam “religiusitas yang dipersepsikan” tersebut sebenarnya merupakan fakta lahirnya iklanisasi agama. Ramadhan akan dijadikan sebagai “pasar iklan agama” untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena ditekan hegemoni pasar, iklan agama hadir begitu semarak, sehingga televisi dipenuhi oleh iklan dan tayangan agama tanpa henti. Begitu pemirsa bangun, mereka disuguhi tayangan religius. Seolah ada desain televisi ikut berdakwah. Padahal materi yang disampaikan begitu dangkal untuk memberikan pemahaman agama kepada pemirsa. Iklanisasi agama berjalan begitu massif sehingga pemirsa seolah melalaikan ibadah puasanya sendiri, lebih concern pada acara televisi dalam desain iklan agama.
Menurut Yadi Purwanti (2009), fenomena mendadak religius menjelang Ramadhan yang dikemas dalam iklanisasi agama merupakan implikasi dari pola pemahaman pribadi yang masih split (pecah). Pertama, pada dasarnya manusia, siapapun dia memiliki insting beragama. Insting itu akan semakin besar ketika suasananya memungkinkan, seperti halnya pada bulan Ramadhan. Kedua, rasa pertobatan. Sebab mereka juga mempunyai potensi positif. Mereka sadar dunia artis bergelimang ketidak-beresan, semisal pamer wajah hingga aurat, maka ada saatnya mereka bertobat.
Ketiga, kapitalisasi religiusitas. Kapitalisme itu tetap saja konteksnya, perdagangan. Mereka adalah agen-agen ekonomi yang selalu memanfaatkan peluang apa saja, termasuk religiusitas. Dan, apapun yang bisa dijual dan memberikan manfaat ekonomi, ya digarap. Tapi motifnya ujung-ujungnya duit.
Dalam psikologi behaviorisme, hadirnya iklanisasi agama bisa dilihat dalam tiga teori: stimulus, proses dan report. Dari teori sederhana itulah kebiasaan yang terjadi pada era kapitalisme ini.
Stimulus kita memang hedonisme. Yakni beragama itu dalam rangka mencari kenikmatan, kenikmatan batiniah pribadi, mencari kesenangan, dan kesohiran. Sedangkan secara proses, didalan diri manusia juga merupaka hasil produk sosial yang boleh dikatakan semirusak. Kita di didik secara sekuler!
Jadi proses yang ada dalam diri manusia Indonesia adalah secara umum proses sekulerisasi. Pas Ramadhan jadi baik , tapi diluar itu jadi rusak. Jadi, dari sisi report ialah lahirnya pribadi yang ganda atau hipokrit. Ketika Ramadhan mereka jadi saleh, setelah itu kembali ke asal. Karena terpukau oleh hasrat Iklanisasi agama, masyarakat justru terjebak pada keberagaman yang simplistik dan artifisial. Jiwa umat lslam menjelang Ramadhan bukannya dipenuhi kekhusuyukan dalam itikaf dimesjid untuk menggapai keutamaan Ramadhan yang penuh berkah, tapi tersandera oleh kemegahan dan kemewahan yang berlebihan. Anjuran Nabi agar umat Islam meningkatkan ibadah justru dihabiskan dengan ritual menonton.
Sinetron dan iklan yang sama sekali tidak berkaitan dengan pesan dan nilai puasa. Pesan substantif Ramadhan agar kita menemukan kefitrian (kemurnian) jiwa, terdistorsi oleh hasrat iklan, sinetron, dan konsumerisme.
Dalam konteks ini, iklanisasi agama merupakan bentuk “keterjebakan” umat Islam dalam kuasa hawa nafsu. Sekian jalan artifisial yang dijalankan umat Islam adalah bentuk depotisme hawa nafsu yang memporak-porandakan nurani manusia . itulah yang oleh Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib Al-Akhlaq (1985) dijelaskan bahwa manusia sering terjebak pada kenikmatan material yang tidak begitu berarti. Bahkan sering menjerumuskan manusia pada kerusakan dan kenistaan.
Itu terjadi, lanjut Miskawaihn, karena manusia tidak siap mengekang jiwa dari hawa nafsu rendah dan tidak siap menguasai keburukan-keburukan yang setiap waktu bergejolak.
Menjelang Ramadhan, Nabi tidaklah memerintahkan umat Islam untuk sibuk melakukan iklanisasi agama. Tapi berlomba-lomba memberdayakan sesama yang masih teringgal dan terbelakang. Berlomba dalam menolong sesama untuk membersihkan jiwa orang puasa (thuhrotan li al-shoim) dan memeberikan penghidupan bagi kaum miskin (thu’matan li al-masakin).
Dengan jiwa yang bersih dan memberikan jaminan penghidupan bagi fakir miskin, puasa Ramadhan yanhg dijalankan akan menemukan makna subtantifnya. Mengumbar kuasa hawa nafsu hanya menjebak umat Islam dalam kealpaan beragama. Subtansi ajaran agama terdistorsi oleh gerak iklan dan sinetron yang terus bergejolak ditelevisi.
Sementara itu, nilai mesjid-mesjid menjadi kosong karena tergusur oleh kuasa pasar yang semakin membuat buta mata hati beragama. Jadilah mesjid sekedar benteng dan monument yang tidak bernilai karena umat Islam “menyembah” pasar sebagai benteng eksistensi hidupnya.
Sudah saatnya umat Islam kembali pada subtansi ajaran puasa yang diwasiatkan Nabi. Yakni mampu menahan hawa nafsu sehingga nanti mampu menjadi pelita yang menerangi kegelapan malam.

Penulis adalah Direktur Eksekutif
Center for Multicultural Studies
(CMS) Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar