(Foto:paradigmaindonesia.files)
Oleh:
Rino Sundawa Putra
Penulis tertarik dengan ucapan mantan Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim dalam acara Pos Ronda beberapa hari yang lalu di Radar TV yang menyatakan bahwa gagasan Gerakan Membangun Desa atau lebih dikenal dengan Gerbang Desa yang digagas oleh Bupati Tasikmalaya UU Ruzhanul Ulum jangan dipahami sebagai program membagi-bagikan uang, tetapi harus selaras dan menjadi roda penggerak di tataran instansi-instansi lain. Penulis sangat memahami sekali kekhawatiran Tatang Farhanul Hakim dan sangat sependapat sekali, karena memang sampai sekarang penulis bahkan mungkin publik sekalipun masih belum diberi gambaran yang jelas mengenai konsep dan program yang lebih spesifik baik itu tentang gambaran umumnya yang terdefinisi dengan komprehensif ataupun tataran teknisnya yang lebih parsial.
Terlepas dari itu semua, penulis sangat mengapresiasi sekali gagasan Bupati UU Ruzhanul Ulum, karena kalau Gerbang Desa memiliki Road Mapp yang jelas tentang bagaimana membangun desa dari segala aspek, program tersebut bisa memberdayakan potensi desa baik itu sumber daya manusia atau sumber daya alamnya secara lebih maksimal sebab desa merupakan unit paling bawah dari hirarki pemerintahan Kabupaten, maka desa merupakan ujung tombak pelaksanaan program-program yang selama ini dijalankan oleh pemerintah daerah. Tapi sayangnya sejauh ini potensi yang ada di desa masih dipandang sebelah mata, karena sejauh ini penulis melihat paradigma pembangunan terutama pembangunan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat masih terlokalisir di daerah perkotaan. Kita lihat saja bagaimana indikator peningkatan ekonomi masih diukur dengan sejauh mana pembangunan pusat-pusat perbelanjaan atau perdagangan, sarana hiburan, sarana publik seperti hotel dan rumah makan dan seberapa besar investasi yang masuk.
Bila paradigma pembangunan ekonomi masih dipahami seperti itu, dampaknya tidak akan terjadi pemerataan ekonomi sebab pembangunan ekonomi hanya tersentralisasi di daerah perkotaan, ini artinya desa sebagai teritori yang menjadi bagian suatu daerah menjadi terabaikan, dan masalah-masalah seperti ketimpangan taraf ekonomi antara masyarakat desa dan masyarakat perkotaan semakin jauh, karena peluang mendapatkan sumber-sumber ekonomi di desa menjadi langka. Akhirnya banyak penduduk yang ada di pedesaan mau tidak mau harus datang ke kota untuk mencari nafkah dan ini akan berimplikasi pada masalah-masalah sosial lainnya, seperti adaptasi atau infiltrasi budaya perkotaan yang diadopsi oleh masyarakat desa, kepadatan penduduk di kota bahkan timbulnya kaum miskin kota adalah buah dari perpindahan penduduk tersebut.
Ada istilah Nyaba atau Ngumbara bagi orang sunda. Nyaba atau Ngumbara mengandung pengertian, konotasi atau makna mencari penghidupan/rezeki yang lebih baik di daerah lain. Maka ungkapan orang sunda seperti “lah hese usaha di kampung mah, naon atuh garapeunana paling tani. Mending ge nyaba” adalah ungkapan yang sudah menjadi pandangan umum masyarakat pedesaan. Itulah sebabnya kalau kita ke daerah pedesaan sangat langka sekali menemui orang dengan usia produktif, karena hampir sebagian besar nyaba atau ngumbara ke daerah perkotaan.
Penulis berharap, Gerbang Desa ini mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan seperti itu. Bagaimana kemudian Gerbang Desa dapat menyediakan sumber-sumber ekonomi di daerah pedesaan, sehingga sirkulasi ekonomi akan terjadi di daerah pedesaan yang berakibat pada pemerataan ekonomi dan pendapatan antara masyarakat desa dan kota.
Konsep Ekonomi Politik
Berikan pancing jangan ikan. Kira-kira seperti itulah perumpamaan yang pas untuk menggambarkan pernyataan mantan Bupati Tasikmalaya Tatang Farhanul Hakim. Gerbang Desa bila hanya terfokus bagaimana meningkatkan jumlah anggaran yang digelentorkan seperti dalam Alokasi Dana Desa (ADD) tanpa adanya proses pemberdayaan berkelanjutan dalam mengelola anggaran kaitannya dengan input, proces, output dan outcome, maka bukan tidak mungkin, program Gerbang Desa tidak akan dirasakan oleh masyarakat.
Dalam kajian Ekonomi Politik, peran pemerintah dimana secara politik mendapatkan mandat kekuasaan sebagai alat untuk mengelola seluruh sumber-sumber yang ada termasuk sumber-sumber ekonomi/keuangan bagi kepentingan masyarakat, fungsi regulator/eksekutor, distributor, dan stabilisator harus betul-betul terlaksana. Dalam konteks Gerbang Desa, fungsi regulator/eksekutor bisa dikatakan peran dalam menentukan seperti, berapa besar anggaran untuk desa, program apa saja yang harus dilakukan dan bagaimana kebijakan dalam mengelola potensi ekonomi yang ada di desa. Fungsi distributor menyangkut bagaimana pengalokasiannya, besarannya seperti apa. Stabilisator menyangkut manajemen dalam melaksanakan program seperti kejelasan tugas, fungsi dan wewenang dalam mengalokasikan anggaran sehingga terjadi keseimbangan dalam mendistribusikan sumber keuangan.
Karena inti dari kajian ekonomi politik adalah memposisikan kegiatan ekonomi sebagai jalan untuk memahami kehendak masyarakat dengan menggunakan instrument kebijakan pemerintah, maka dalam konteks Gerbang Desa menyangkut sumber daya alam atau manusia (Resources) perlu di klasifikasikan, mengingat masing-masing desa yang ada di Kabupaten Tasikmalaya mempunyai karakteristik sumber daya alam dan manusia yang berbeda. Perlu adanya klasifikasi sektor-sektor yang menjadi ciri khas masing-masing desa, seperti sektor pertanian, sektor perdagangan, sektor industri/ UMKM dan sektor jasa. Dari pengklasifikasian inilah, pemerintah dapat menentukan kebijakan selanjutnya dalam rangka menentukan besaran anggaran, program apa saja yang harus dilakukan dan pemberdayaannya seperti apa. Potensi desa yang sudah ada menjadi modal dasar dalam melakukan pemberdayaan secara berkelanjutan yang terangkum dalam program Gerbang Desa. Sangat mustahil bila sumber daya manusia yang ada di sebuah desa lebih dominan pada sektor industri/UMKM tetapi bantuan atau program yang diberikan menyangkut masalah pengelolaan tanah, atau bantuan pupuk dan bibit, atau sebaliknya.
Sama halnya dengan pendapat Tatang Farhanul Hakim, penulis meyakini indikator keberhasilan program Gerbang Desa tidak bisa diukur dengan besaran jumlah anggaran yang di alokasikan, tetapi bukti nyata keberhasilan Gerbang Desa dapat diukur dengan adanya perubahan tingkat ekonomi masyarakat pedesaan dengan indikator adanya geliat dan sirkulasi kegiatan ekonomi di pedesaan, ada garapan yang bisa membuka kesempatan kerja seluas-luasnya di daerah pedesaan dan lebih jauh akan berimplikasi pada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat pedesaan. Sejauh ini penulis masih berbaik sangka, bahwa program Gerbang Desa bukan sebatas komoditas politik dalam rangka memenangkan Pemilukada kemarin, tentunya agar penulis tidak menjadi berburuk sangka, sangat diperlukan kerja keras, keseriusan dari seluruh perangkat pemerintahan yang ada dalam merealisasikan Gerbang Desa dengan program dan Road Map yang jelas, bukan program bagi-bagi anggaran.
Penulis adalah Dosen pada Program Studi Ilmu Politik Fisip Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Hanya bisa menulis dan menulis. Hati, pikiran dan jari jemariku seolah terkoordinasi dalam memuntahkan isi kepala ini. Hati, pikiran dan jari-jemari ini lebih bisa berkoordinasi dalam satu kesatuan dibanding hati, pikiran dan mulut untuk merangkai kata demi kata. Dan.. rokok bagai kayu bakar yang terus mensuplai energi untuk mesin uap, mesin yang mengkoordinasikan hati, pikiran dan jari-jemari ini untuk terus menulis.
BERBAGI UNTUK SALING MENCERAHKAN..
Apakah dunia maya se-fana dunia nyata?
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..
Rabu, 03 Agustus 2011
Senin, 01 Agustus 2011
Mewaspadai Iklanisasi dan Kapitalisasi Agama di Bulan Ramadhan
Dikutip dari tulisan Muhhamadun AS dikolom Wacana Radar Tasikmalaya edisi Sabtu 30 Juli 2011
Menjelang Ramadhan, gemuruh umat Islam sudah terasa mulai sekarang. Lihatlah berbagai tayangan televisi yang sudah “berubah” dengan jubah agama. Hampir semua stasiun televisi berlomba-lomba menyajikan program baru beridentitas agama. Para selebritis juga mengubah gaya hidup (mode), bahkan iklan-iklan produk di televisi sudah menyajikan nuansa Ramadhan.
Semua kemasan program televisi dan iklan itu didesain sedemikian rupa untuk membangun persepsi “Religius”. Religiusitas yang dipersepsikan dalan iklan itu diharapkan mampu menarik simpati publik yang sedang mendamba keberkahan dibulan suci.
Apa yang terjadi dalam “religiusitas yang dipersepsikan” tersebut sebenarnya merupakan fakta lahirnya iklanisasi agama. Ramadhan akan dijadikan sebagai “pasar iklan agama” untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena ditekan hegemoni pasar, iklan agama hadir begitu semarak, sehingga televisi dipenuhi oleh iklan dan tayangan agama tanpa henti. Begitu pemirsa bangun, mereka disuguhi tayangan religius. Seolah ada desain televisi ikut berdakwah. Padahal materi yang disampaikan begitu dangkal untuk memberikan pemahaman agama kepada pemirsa. Iklanisasi agama berjalan begitu massif sehingga pemirsa seolah melalaikan ibadah puasanya sendiri, lebih concern pada acara televisi dalam desain iklan agama.
Menurut Yadi Purwanti (2009), fenomena mendadak religius menjelang Ramadhan yang dikemas dalam iklanisasi agama merupakan implikasi dari pola pemahaman pribadi yang masih split (pecah). Pertama, pada dasarnya manusia, siapapun dia memiliki insting beragama. Insting itu akan semakin besar ketika suasananya memungkinkan, seperti halnya pada bulan Ramadhan. Kedua, rasa pertobatan. Sebab mereka juga mempunyai potensi positif. Mereka sadar dunia artis bergelimang ketidak-beresan, semisal pamer wajah hingga aurat, maka ada saatnya mereka bertobat.
Ketiga, kapitalisasi religiusitas. Kapitalisme itu tetap saja konteksnya, perdagangan. Mereka adalah agen-agen ekonomi yang selalu memanfaatkan peluang apa saja, termasuk religiusitas. Dan, apapun yang bisa dijual dan memberikan manfaat ekonomi, ya digarap. Tapi motifnya ujung-ujungnya duit.
Dalam psikologi behaviorisme, hadirnya iklanisasi agama bisa dilihat dalam tiga teori: stimulus, proses dan report. Dari teori sederhana itulah kebiasaan yang terjadi pada era kapitalisme ini.
Stimulus kita memang hedonisme. Yakni beragama itu dalam rangka mencari kenikmatan, kenikmatan batiniah pribadi, mencari kesenangan, dan kesohiran. Sedangkan secara proses, didalan diri manusia juga merupaka hasil produk sosial yang boleh dikatakan semirusak. Kita di didik secara sekuler!
Jadi proses yang ada dalam diri manusia Indonesia adalah secara umum proses sekulerisasi. Pas Ramadhan jadi baik , tapi diluar itu jadi rusak. Jadi, dari sisi report ialah lahirnya pribadi yang ganda atau hipokrit. Ketika Ramadhan mereka jadi saleh, setelah itu kembali ke asal. Karena terpukau oleh hasrat Iklanisasi agama, masyarakat justru terjebak pada keberagaman yang simplistik dan artifisial. Jiwa umat lslam menjelang Ramadhan bukannya dipenuhi kekhusuyukan dalam itikaf dimesjid untuk menggapai keutamaan Ramadhan yang penuh berkah, tapi tersandera oleh kemegahan dan kemewahan yang berlebihan. Anjuran Nabi agar umat Islam meningkatkan ibadah justru dihabiskan dengan ritual menonton.
Sinetron dan iklan yang sama sekali tidak berkaitan dengan pesan dan nilai puasa. Pesan substantif Ramadhan agar kita menemukan kefitrian (kemurnian) jiwa, terdistorsi oleh hasrat iklan, sinetron, dan konsumerisme.
Dalam konteks ini, iklanisasi agama merupakan bentuk “keterjebakan” umat Islam dalam kuasa hawa nafsu. Sekian jalan artifisial yang dijalankan umat Islam adalah bentuk depotisme hawa nafsu yang memporak-porandakan nurani manusia . itulah yang oleh Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib Al-Akhlaq (1985) dijelaskan bahwa manusia sering terjebak pada kenikmatan material yang tidak begitu berarti. Bahkan sering menjerumuskan manusia pada kerusakan dan kenistaan.
Itu terjadi, lanjut Miskawaihn, karena manusia tidak siap mengekang jiwa dari hawa nafsu rendah dan tidak siap menguasai keburukan-keburukan yang setiap waktu bergejolak.
Menjelang Ramadhan, Nabi tidaklah memerintahkan umat Islam untuk sibuk melakukan iklanisasi agama. Tapi berlomba-lomba memberdayakan sesama yang masih teringgal dan terbelakang. Berlomba dalam menolong sesama untuk membersihkan jiwa orang puasa (thuhrotan li al-shoim) dan memeberikan penghidupan bagi kaum miskin (thu’matan li al-masakin).
Dengan jiwa yang bersih dan memberikan jaminan penghidupan bagi fakir miskin, puasa Ramadhan yanhg dijalankan akan menemukan makna subtantifnya. Mengumbar kuasa hawa nafsu hanya menjebak umat Islam dalam kealpaan beragama. Subtansi ajaran agama terdistorsi oleh gerak iklan dan sinetron yang terus bergejolak ditelevisi.
Sementara itu, nilai mesjid-mesjid menjadi kosong karena tergusur oleh kuasa pasar yang semakin membuat buta mata hati beragama. Jadilah mesjid sekedar benteng dan monument yang tidak bernilai karena umat Islam “menyembah” pasar sebagai benteng eksistensi hidupnya.
Sudah saatnya umat Islam kembali pada subtansi ajaran puasa yang diwasiatkan Nabi. Yakni mampu menahan hawa nafsu sehingga nanti mampu menjadi pelita yang menerangi kegelapan malam.
Penulis adalah Direktur Eksekutif
Center for Multicultural Studies
(CMS) Jogjakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)