Oleh: Rino Sundawa Putra
Sama halnya dibeberapa daerah, etnis Tionghoa di Kota Tasikmalaya merupakan etnis minoritas, tetapi dibidang ekonomi menjadi salah satu roda penggerak perekonomian besar yang menggerakan sektor perdagangan dan jasa. Dari sisi jumlah, tentunya etnis Tionghoa tidak bisa menjadi sumber daya politik yang bisa digiring suaranya untuk mendukung salah satu calon, tetapi sumber daya politik yang menyangkut finansial politik, tentunya dapat diperhitungkan untuk mempengaruhi dinamika politik lokal di kota Tasikmalaya, mengingat beberapa individu/kelompok pengusaha besar di kota Tasikmalaya dimiliki oleh beberapa orang keturunan Tionghoa yang melebarkan sayap bisnisnya dibeberapa proyek, yakni pusat perbelanjaan (Mall), pusat hiburan, perumahan dan grosir .
Isu-isu yang berkembang seputar adanya dukungan keuangan dari beberapa pengusaha Tionghoa kepada beberapa politisi atau calon kepala daerah di Kota Tasikmalaya memang sudah menjadi rahasia umum bagi sebagaian kecil masyarakat, hal tersebut juga dibenarkan salah satu pengusaha perumahan dari etnis Tionghoa di kota Tasikmalaya.
Adanya dukungan keuangan ini dalam konteks politik, jelas menggambarkan bahwa adanya jalinan kepentingan tertentu, kepentingan tersebut bisa kepentingan beberapa individu dikalangan Tiongoa, atau kepentingan secara umum yang diinginkan oleh seluruh etnis Tionghoa yang ada di kota Tasikmalaya.
Dari hasil diskusi mendalam dengan beberapa kalangan Tinghoa, masyarakat Tionghoa sebagian besar sudah tidak bisa apatis lagi terhadap kegiatan-kegiatan Politik, apalagi diera otonomi daerah, karena mau tidak mau dalam era ini mereka harus bisa mewarnai dinamika politik lokal karena disitulah kepentingan mereka diakomodasikan ditingkat lokal, berbeda dengan pada saat Orde baru. Bahkan seringkali diadakan seminar yang dipelopori oleh kalangan mereka sendiri, seminar tersebut menekankan pentingnya partisipasi politik dan arahan untuk tidak Golput, bahkan menurutnya persentasenya 50% dari semua warga Tionghoa di kota Tasikmalaya sudah mempunyai kesadaran politik yang tinggi dibanding pada saat Orde Baru.
Tetapi ada batasan-batasan tertentu dimana kalangan Tionghoa tidak terlalu menonjolkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik, hanya sebatas melaksanakan hak mereka untuk menentukan pilihan di TPS, termasuk pada pemilihan Walikota Tasikmalaya sebelumnya tahun 2007. Kalaupun ada kontak-kontak dengan elite-elite politik lokal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak terorganisir, artinya hanya beberapa gelintir orang Tionghoa (individu) yang melakukan lobi dan dukungan finansial untuk kepentingan ekonomi politik (jangka pendek), tetapi dia menjamin bahwa hanya dengan segelintir orang yang melakukan lobi-lobi politik, mereka bisa mewakili kepentingan warga Tionghoa secara keseluruhan dan tidak hanya terfokus pada kepentingan ekonomi semata.
Menurut pandangannya, hal serupa juga akan terjadi menjelang Pemilukada kota Tasikmalaya 2012 ini, yaitu hanya segelintir orang Tionghoa yang akan melakukan kontak-kontak dengan beberapa calon Walikota. Mereka kebanyakan pengusaha yang mewakili kepentingan ekonomi, tetapi dia menjamin walaupun itu dilakukan oleh beberapa orang, kepentingan warga Tionghoa secara keseluruhan bisa tersampaikan.
Dari beberapa calon Walikota yang sudah muncul dan populer, syarif, Budi Budiman dan Dede, Beberapa calon yang memang intens membangun jaringan dengan warga Tionghoa ini adalah Syarif dan Budi. Tetapi secara umum berkaca dari pelaksanaan Pemilukada kota Tasikmalaya tahun 2007, tidak pernah ada satu calon pun yang datang menyampaikan secara umum mengenai visi dan misinya kepada warga Tionghoa ditingkat akar rumput, artinya pendekatan yang dilakukan oleh salah calon hanya secara individu ditingkat elit.
Menurutnya, kehati-hatian warga tionghoa di kota Tasikmalaya dalam melakukan aktifitas politik lebih didasarkan pada stigma yang berbasis rasial, dimana masih ada jurang pembatas berbasis etnis yang membenturkan antara masyarakat pribumi dan Tionghoa, apalagi setelah terjadinya kerusuhan pembakaran properti milik warga Tionghoa pada tahun 1996 di kota Tasikmalaya. Ini artinya, ada ketakutan bilamana mereka secara teranga-terangan melakukan aktifitas politik, akan kembali menyulut stigma-stigma negatif terhadap warga Tionghoa dan menyulut api permusushan, mengingat politik praktis yang tidak bisa diprediksi, karena bukan tidak mungkin bilamana terlalu aktif dalam politik, politisasi negatif terhadap warga Tionghoa akan terjadi sebagai akibat manuver politik. Bahkan menurutnya, warga Tionghoa di kota Tasikmalaya cenderung menghindari politik praktis secara langsung, tetapi tidak lantas tidak memperjuangkan kepentingan mereka, kesadaran politik tidak diartikan dengan sejauh mana terlibat dalam politik praktis, tetapi sejauh mana mengakomodasikan kepentingan mereka dengan berbagai pendekatan.
Hanya bisa menulis dan menulis. Hati, pikiran dan jari jemariku seolah terkoordinasi dalam memuntahkan isi kepala ini. Hati, pikiran dan jari-jemari ini lebih bisa berkoordinasi dalam satu kesatuan dibanding hati, pikiran dan mulut untuk merangkai kata demi kata. Dan.. rokok bagai kayu bakar yang terus mensuplai energi untuk mesin uap, mesin yang mengkoordinasikan hati, pikiran dan jari-jemari ini untuk terus menulis.
BERBAGI UNTUK SALING MENCERAHKAN..
Apakah dunia maya se-fana dunia nyata?
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..