BERBAGI UNTUK SALING MENCERAHKAN..

Apakah dunia maya se-fana dunia nyata?
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..

Minggu, 19 Februari 2012

Menjual Religiusitas Kota Santri

Oleh:
Rino Sundawa Putra

Otonomi daerah memiliki implikasi besar terhadap warni-warni dan dinamika dalam proses berdemokrasi ditingkat lokal, apalagi menjelang pemilihan kepala daerah. Isu-isu lokal, wacana-wacana lokal sebagai bagian kearifan lokal suatu daerah menjadi modal atau paling tidak menjadi salah satu faktor penting dalam merebut simpati masyarakat, ini adalah konswensi logis ketika ritual demokrasi berada pada tingkatan lokal.

Gerbang Pilkada Kota Tasikmalaya akan segera dibuka, masing-masing politisi yang ingin mencalonkan sudah mengambil porsi mengenai isu-isu yang strategis sebagai modal dalam mencitrakan diri mereka kepada masyarakat. Ini ditandai dengan maraknya baligho bakal calon atau bakal pasangan calon walikota dengan mengusung tema-tema religius, entah itu berupa kalimat, jargon-jargon atau bahkan simbol-simbol. Hal yang paling umum terlihat adalah pemasangan gambar Mesjid Agung sebagai gambar latar pada baligho bakal calon.

Penggambaran kota Tasikmalaya sebagai kota yang memiliki nuansa religius kuat kemudian ditegaskan lagi dengan predikat kota santri seolah menjadi sumber daya politik yang diperebutkan sebagai jalan meraih simpati masyarakat. Bagi penulis, pencitraan diri dengan mengusung tema-tema atau isu-isu populis merupakan bagian dari kepekaan politik sebagai jalan untuk memahami kehendak masyarakat, bilamana pencitraan diri tersebut tidak dibentuk secara instan hanya untuk keperluan taktis menjelang kontestasi Pilkada, tetapi pencitraan diri dibentuk berdasarkan idealisme politik yang memang sudah berakar pada individu atau pada institusi politik (Partai Politik). Banyak politisi yang tidak bisa menepati janjinya kepada masyarakat karena citra diri yang dibentuk menjelang Pilkada atau menjelang pemilihan calon anggota legislatif, dibuat secara instan mengikuti selera pasar politik. Fenomena pencitraan diri secara instan ini menjadi salah satu faktor menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada para politisi/pejabat.

Sebagai masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat religius, kekuatan akan simbol-simbol keagamaan menjadi magnet yang bisa menggerakan kecenderungan-kecenderungan para pemilih untuk menentukan pilihannya. Dalam tataran inilah kekuatan simbol, wacana dan teks-teks yang mengandung makna religius dimainkan dalam ranah politik menjelang Pilkada kota Tasikmalaya, apalagi ketika kelompok ulama merapatkan diri dalam kompetisi, legitimasi akan simbol-simbol, jargon-jargon bernuansa religius akan semakin kuat, bahkan beberapa pengamat mengatakan, pondasi utama yang harus dibangun dalam rangka memenangkan setiap kontestasi politik di Tasikmalaya adalah dengan melakukan komunikasi dan meraih dukungan dari kalangan ulama. Bagi penulis pendapat para pengamat ini mengandung arti begitu pentingnya pencitraan diri yang dibangun berdasarkan simbol-simbol dan komitmen-komitmen terhadap nilai-nilai religius.

Dalam ranah politik praktis, berbagai isu, wacana dan persepektif publik bisa digunakan sebagai “jualan” politik. Mengusung nilai-nilai religius merupakan hak para politisi sebagai jalan dalam memahami psikologi sosial-politik masyarakat kota Tasikmalaya, sejauh simbol-simbol dan jargon-jargon yang dikemukakan dapat dipertanggungajawabkan secara moral, secara hukum dan secara politik dihadapan masyarakat, artinya para politisi harus mengerti betul kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat menyangkut simbol-simbol dan jargon-jargon. Simbol-simbol dan jargon-jargon harus penuh makna logis yang betul-betul bisa diimplmentasikan selanjutnya, bukan simbol-simbol dan jargon-jargon kosong yang menjadi bumerang dikemudian hari karena kebingungan dalam menafsirkan simbol-simbol dan jargon-jargon tersebut, artinya pencitraan diri yang dibentuk secara instan nantinya akan menjadi simbol dan jargon tanpa makna, mudah dilupakan dan menuai ketidakpercayaan publik.
Para politisi yang akan bertarung pada Pilkada Kota Tasikmalaya bisa berkaca pada situasi politik nasional, bagaimana citra diri rezim dibentuk dengan jargon “berada pada garda terdepan dalam pemberantasan korupusi”, tapi faktanya korupsi semakin menggerogoti partai yang menjadi perahunya. Jangan sampai, makna religius dari simbol dan jargon yang diangkat, tapi prostitusi merajalela, perjudian, miras dan tempat hiburan malam dibiarkan.

Para tokoh Ulama, apalagi yang merapatkan diri, harus senantiasa berperan dan ikut bertanggung jawab mengawal pencitraan diri kandidat yang mengusung nilai-nilai religius, kontrak politik yang melibatkan peran Ulama tidak hanya sebatas kontrak dalam suksesi memenangkan kompetisi politik (jangka pendek), tapi kontrak politik harus bersifat jangka panjang. Dengan menggunakan bargaining power, Ulama mempunyai peran strategis untuk ikut memberi warna dalam jalannya roda kekuasaan, mengubah jualan religiusitas menjadi komitmen religiusitas.