BERBAGI UNTUK SALING MENCERAHKAN..

Apakah dunia maya se-fana dunia nyata?
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..

Selasa, 17 Mei 2011

Karaoke (Bernyanyi) dan Fatwa-Fatwa Ulama


Oleh:
Rino Sundawa Putra

Setelah mencermati perkembangan pemberitaan media yang begitu gencar tentang polemik pemberian izin usaha karaoke, akhirnya pemerintah pun buka suara tentang persoalan ini. Di awali oleh pernyataan Wali Kota yang menegaskan bahwa setiap pengunjung yang datang berpasangan ke tempat karaoke wajib membawa surat nikah. Kemudian disusul dengan pernyataan Kepala Badan Perizinan Terpadu (BPPT) tentang empat butir syarat yang harus dipenuhi pengelola karaoke. Tidak hanya itu, bola salju karaoke ini terus menggelinding, sejumlah pihak ikut merespon, ada yang beraudensi dengan Dewan bahkan sejumlah ormas Islam mempertanyakan kredibilitas MUI sebagai lembaga formal representasi dari perwakilan Ulama.
Terlepas dari itu semua, nasi sudah menjadi bubur dan bola sudah menggelinding. Tetapi bukan sebuah hal mustahil bagi pemerintah yang mempunyai otoritas tertinggi sebagai pembuat kebijakan untuk mau mengevaluasi dan merevisi kebijakan yang telah diambil sebelumnnya. Pertanyaannya adalah, dasar apakah yang harus dijadikan sandaran dalam melakukan evaluasi dan revisi? Yang harus menjadi batu pijakan dalam melakukan evaluasi dan revisi adalah amanah kota Tasikmalaya itu sendiri, amanah yang mengemban cita-cita luhur untuk terus merawat nilai-nilai Islami, sehingga julukan kota santri masih layak disematkan, bukan dari apa yang telah “diteriakan” berbagai kelompok yang mengkritisi kebijakan itu, karena ketulusan dalam mengemban amanah ini harus datang dari lubuk hati yang paling dalam dan relung nurani yang paling peka, bukan karena “teriakan”, kritikan dan tuntutan. Artinya ketika berbicara tentang bagaimana merawat nilai-nilai Islami dan religiusitas masyarakat kota Tasikmalaya, jelas ini sangat berkaitan dengan pertanyaan sejauh mana kepatuhan pemerintah dan masyarakat akan ketentuan-ketentuan yang tersurat dan tersirat dalam Al-Quran, karena Al-Quran adalah pedoman yang menjadi indikator sejauh mana nilai-nilai Islami itu dijalankan. Merawat nilai-nilai Islam yang menjadi frame pembangunan di kota Tasikmalaya, tentunya ini akan berkaitan dengan sejauh mana individu-individu yang secara sosial akan menjadi kekuatan kolektif yang menggambarkan religius atau tidaknya masyarakat kota Tasikmalaya, tergantung dari kepatuhan dalam melaksanakan Al-Quran dan Sunnah.
Mencari Fatwa Teologis Menyanyi
Karaoke jelas erat kaitannya dengan aktifitas menyanyi dan musik, dan menyanyi dalam hukum positif di Indonesia jelas bukanlah kegiatan yang dilarang karena memang menyanyi dianggap tidak terdapat unsur-unsur pelanggaran yang dapat merugikan, bahkan dalam hukum positif, menyanyi tidak dianggap sebagai sarana yang punya kecenderungan mendekatkan pada kegiatan pornografi dan pornoaksi, untuk itulah kenapa beberapa penyanyi yang selalu mengeksploitasi tubuhnya lewat tarian-tarian erotis dengan busana terbuka saat bernyanyi ketika tampil dilayar kaca atau pada setiap hajatan-hajatan resepsi pernikahan tidak pernah mendapatkan sanksi. Tetapi Islam sebagai agama yang universal yang mengatur semua pola kehidupan manusia memberikan gambaran tentang musik dan aktifitas menyanyi ini baik itu dalam Al-Quran dan Sunnah yang kemudian menjadi sumber tafsir yang diterjemahkan secara berlainan.
Terdapat perbedaan dari Ulama-Ulama tentang penafsiran yang diambil dari apa yang tersirat dan tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah tentang Haram atau tidaknya aktifitas bernyanyi. Beberapa Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I, Imam Ahmad, Abu Thayyib Ath-Thabari, Umar bin Abdul Azis dan Ulama besar dan ahli hadist Al-Ajurri memfatwakan haramnya nyanyian. Ulama-ulama tersebut menggunakan beberapa dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang kemudian mereka tafsirkan sebagai ketegasan Islam dalam mengharamkan nyanyian. Pertama, dari firman Alloh SWT dalam surat Al-Isra “Dan, hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan suaramu.” (Al-Isra : 64). Para ahli tafsir mengatakan bahwa kata suara disini adalah nyanyian. Kemudian firman Alloh SWT dalam surat Luqman yang berbunyi “Dan, diantara manusia (ada) yang menggunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Alloh tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Alloh itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat dikedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.” (Luqman: 6-7). Kalimat “perkataan yang tidak berguna” dalam surat tersebut juga ditafsirkan sebagai nyanyian. Dan firman Alloh dalam surat Al-An`am yang berbunyi, “Dan, tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.” (Al-An`am: 70). Kata “senda gurau” dalam surat tersebut oleh beberapa Ulama diatas juga ditafsirkan sebagai nyanyian.
Tidak hanya dari Firman Alloh, para ulama tersebut juga menggunakan Hadist sebagaimana dalam Sabda Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi “Sungguh pasti akan ada beberapa golongan di antara umatku yang menghalkan perzinaan, sutera, khamar dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari). Keyakinan para ulama ini akan haramnya nyanyian juga ditegaskan dalam sabda Nabi “Seseungguhnya aku dilarang akan dua suara yang begitu bodoh dan hanyut dalam kemaksiatan: suara ketika ada nikmat dan suara ketika ada musibah.” (HR Al-Hakim dan Baihaqi). Haramnya nyanyian juga dipertegas dengan adanya ijma (konsensus/kesepakatan) sejumlah ulama seperti Al-Laits bin Sa’ad, ulama-ulama mesir dan ulama-ulama Kufah, Hammad, Abu Ubaid, Ishaq bin Rahawaih, An-Nakha’I, ijma tersebut menyimpukan bahwa dalam nyanyian dan musik terdapat unsur-unsur melalaikan hati seseorang dari agamanya (syariat), menyekutukan Alloh dengan cinta-cinta (dunia) kepada selainNya.
Tetapi tidak semua ulama mengharamkan nyanyian berdasarkan tafsirnya dari apa yang telah tersurat dalam Al-Quran, seperti halnya Ibnu Hazm yang membolehkan menyanyi. Persoalan fatwa adalah persoalan tafsir dan memberikan dalil dalam setiap permasalahan merupakan bagian dari dinamika yang terjadi dalam dunia Islam sebagai bagian ijtihad dalam memecahkan sebuah persoalan. Ulama-ulama dari kalangan moderat seperti halnya yang menjadi mainstream Islam di Indonesia, tentu menganggap aktifitas menyanyi tidak masuk kategori sesuatu yang diharamkan. Penulis kemudian mencari jalan tengah dari dua perbedaan fatwa ulama tersebut, artinya penulis tidak mengharamkan nyanyian sepanjang lirik dalam nyanyian tersebut tidak mengandung makna menyekutukan keyakinan kepada Alloh SWT dan berkonotasi negatif, seperti halnya lirik-lirik yang mengagung-agungkan cinta berlebihan terhadap lawan jenis, menjelek-jelakan, lirik yang mengandung makna kekerasan bahkan lirik-lirik yang mengumbar syahwat yang mengantarkan pikiran si pendengar pada hal-hal asusila sebagai sarana menuju kemaksiatan. Bila adanya justifikasi haram pada semua nyanyian, apakah lagu-lagu yang bertemakan religi seperti lagu-lagu Opik yang begitu banyak mengagungkan nama Alloh, keimanan dan ketaqwaan juga dikategorikan haram, atau misalkan lagu-lagu Iwan Falls yang selalu lantang meneriakan tentang sisi kemanusiaan, kepedulian dan ketidakadilan juga dikategorikan haram.
Yang penting, dari perbedaan fatwa dalam mengkategorikan haram atau tidaknya menyanyi, apalagi dalam konteks ini dibangun sebuah sarana khusus bernyanyi (karaoke), pemerintah kota Tasikmalaya bisa mengkajinya dalam ranah teologis, karena sebagai kota yang mengemban amanah Kota santri yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islami, mau tidak mau landasan teologis ini yang diambil dari Al-Quran sebagai pedoman utama umat Islam harus dijadikan referensi utama ketimbang pendekatan peningkatan PAD atau masalah pariwisata. Fatwa ulama yang berbeda-beda seperti halnya yang penulis paparkan, harus dijadikan sebagai bahan kajian bilamana pemerintah akan dengan tulus merevisi kebijakannya tentang izin usaha karaoke.
Komitmen pemerintah untuk membuat aturan tegas bahwa setiap karaoke yang beroperasi di Tasikmalaya tidak boleh memainkan lagu-lagu yang berlirik menyekutukan keyakinan kepada Alloh SWT dan berkonotasi negatif, seperti halnya lirik-lirik yang mengagung-agungkan cinta berlebihan terhadap lawan jenis, menjelek-jelakan, lirik yang mengandung makna kekerasan bahkan lirik-lirik yang mengumbar syahwat dalam list pemutar lagu, adalah sebuah jalan tengah dari fatwa-fatwa ulama itu.

Dimuat pada kolom Wacana Harian Radar Tasikmalaya edisi Rabu 18 Mei 2011
Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil

Selasa, 10 Mei 2011

Kota Santri Yes, Karaoke Oke


Oleh:
Rino Sundawa Putra

“Kota santri yes, Karaoke oke”. Itulah kira-kira ucapan narator ketika menuturkan sebuah berita dalam Radar Sore edisi kamis 5 Mei 2011 di stasiun televisi lokal Radar TV Tasikmalaya, yang menayangkan berita tentang peresmian Karaoke baru di kota Tasikmalaya yang dihadiri sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintahan Kota Tasikmalaya. Sekilas, berita tersebut terkesan sebagai berita ringan yang berisi informasi tentang dunia hiburan di Kota Tasikmalaya, tetapi penulis mulai menambah volume suara televisi ketika “sasaran” tembak berita tersebut mengarah pada ikon kota santri dan situasi religius yang “konon” katanya menjadi gambaran ketika orang berbicara tentang kota Tasikmalaya.

Bagi penulis, reporter dan narator berita pada sore itu, begitu cerdas dalam menyusun kata dan kalimat terutama cerdas mencari angle (sudut) lain dari acara persesmian karaoke baru di Kota Tasikmalaya, ada sudut lain yang lebih punya nilai kritis dari sekedar berita informatif dari hanya menjelaskan pendapatan daerah dari pajak hiburan Karaoke. Berbicara tentang dunia hiburan bernama Karaoke tentu akan terkesan biasa-biasa saja bila itu berada di Batam misalkan, atau di Bali dan Jakarta, tetapi ketika berbicara Karaoke di kota Tasikmalaya jelas ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan besar. Orang sering mengidentikan bahwa dunia hiburan yang bernama Karaoke syarat akan konotasi negatif, dan identik dengan hiburan dunia “malam”, dan itulah titik persoalannya. Menghubungkan sarana hiburan bernama Karaoke dengan ikon Tasik sebagai Kota Santri adalah hal yang sangat kontras dan seolah-olah membenturkan antara dasollen (harapan) dan dasein (kenyataan/fakta). Kira-kira itulah angle terbaik yang ingin diangkat dari berita tersebut.

Bagi penulis konotasi Karaoke sebagai tempat hiburan memang bisa diperdebatkan, karena tidak semua orang menganggap bahwa hiburan Karaoke selalu mengarah pada hal-hal yang bersifat negatif, atau dalam istilah agama sebagai hal yang mengarah pada kemaksiatan (prostitusi dan minuman keras), apalagi beberapa tempat Karaoke yang sudah berdiri mengidentifikasikan sebagai sarana hiburan Keluarga. Tetapi bila kita berbicara tentang situasi baik itu diambil dari latar historis, sosial, kultural bahkan latar yuridis, Tasikmalaya ini merupakan sebuah masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari harapan (dasollen) untuk terus selamanya mewarisi nilai-nilai Islami, nilai religius baik itu dalam hal-hal yang bersifat nuansa keagamaan ataupun hal-hal yang bernuansa kehidupan sosial, sehingga secara yuridis pemerintah dan DPRD juga didukung oleh tokoh-tokoh ulama dan masyarakat kota Tasikmalaya dengan penuh semangat membentuk Perda Nomor 12 Tahun 2009 tentang Tata Nilai, dimana Perda ini sangat gamblang sekali menjadi legitimasi hukum dalam upaya-upaya pencegahan bahkan sanksi dalam rangka merawat nilai-nilai religius keagamaan di kota Tasikmalaya. Dan ketika berbicara tentang makna religius, semua orang pasti sepakat bahwa makna religius akan berkaitan dengan ketaatan kita dalam melaksanakan aturan-aturan agama, agama apapun itu, karena bagi penulis makna religius itu mengandung arti yang sangat universal, dimana semua agama memahami makna religius sebagai sebuah ketaatan yang erat kaitannya dengan keyakinan kepada Tuhan, artinya agama apapun itu jelas tidak akan menghendaki jalan-jalan menuju kemaksiatan (prostitusi dan minuman keras), dan esensi untuk menghindarkan diri dari bentuk-bentuk kemaksiatan menurut berbagai agama adalah wajib. Hanya kebetulan yang menjadi mayoritas adalah pemeluk Islam sehingga makna religius yang ada di kota Tasikmalaya ini adalah makna yang terkandung dalam ajaran Islam.

Secara dasollen (harapan), pemerintah, DPRD tokoh-tokoh Ulama dan masyarakat Tasikmalaya meyakini bahwa Perda Tata Nilai tersebut bisa memagari dan merawat nuansa religius masyarakat Tasikmalaya dari perbuatan-perbuatan yang akan menodai jiwa dan semangat Tasikmalaya sebagai kota santri, maka secara dasein (kenyataan) semua pihak harus peka terhadap semangat itu. Karena Perda Tata Nilai ini mengandung legalitas yuridis sebagai upaya mencegah perbuatan-perbuatan yang mengarah pada tindakan kemaksiatan (Madharat), maka perlu konsistensi dan prinisip yang kuat dari semua pihak untuk mencegah sekecil apapun ruang-ruang yang akan mengarah kepada kemaksiatan, dan pemerintah yang harusnya menjadi garda terdepan menjaga konsistensi itu.

Penulis sangat menghargai sekali perbedaan pendapat yang menganggap bahwa hiburan Karaoke adalah sebatas hiburan yang tidak melulu diidentikan dengan konotasi negatif, tetapi pandangan itu jelas harus diuaraikan dengan data dan fakta, khususnya yang terjadi di Kota Tasikmalaya. Artinya bila pemerintah mau “merestui” berdirinya tempat Karaoke dengan asumsi peningkatan pajak dan retribusi daerah juga penyerapan tenaga kerja, pemerintah harus betul-betul yakin dan secara terus menerus melakukan pengawasan bahwa tempat Karaoke yang sudah dan akan beroperasi di

Tasikmalaya bebas dari segala praktek yang akan menjurus kepada kemaksiatan. Ini sebagai upaya pembuktian bahwa selama ini pemerintah tetap konsisten dengan upayanya mengimplementasikan Perda Tata Nilai. Bila hal ini tidak dilakukan, atau bahkan pemerintah kecolongan karena terbukti adanya praktek yang menjurus pada kemaksiatan, jelas bahwa pemberian ijin usaha Karaoke mengandung konsekwensi yang sangat besar bagi kredibilitas pemerintah, DPRD, ribuan pesantren, lembaga keagamaan, tokoh-tokoh Ulama dan masyarakat kota santri pada umumnya. Atau salah satu alternatif sebagai upaya pencegahan Karaoke menjadi tempat maksiat adalah membuat ketentuan berbasis pada regulasi tentang ijin usaha Karaoke dengan menerapkan syarat yang harus menjamin bahwa Karaoke tersebut tidak disalah gunakan sebagai sarana yang mengarah pada bentuk-bentuk kemaksiatan. Seperti halnya ijin operasi tidak boleh sampai larut malam, fasilitas Karaoke antar ruangan harus terbuka sehingga bisa dilihat oleh pengunjung lainnya, menggunakan cahaya yang terang tidak boleh remang-remang atau tidak boleh ada pemandu lagu (biasanya perempuan).

Sebagai tindak lanjut peran media, perlu kiranya liputan lanjutan bersifat investigatif yang menyoroti praktek usaha hiburan Karaoke di Tasikmalaya. Sebagai pilar ke-empat demokrasi, Media punya hak sekaligus juga punya tanggung jawab yang sangat besar sebagai pengawas yang ikut membantu menyelidiki dan membuktikan bahwa Karaoke yang telah beroperasi di Tasikmalaya murni sebagai sarana hiburan keluarga, tidak disalah gunakan untuk aktifitas negatif. Liputan media bahkan bisa menjadi fasilitator antara pemerintah, pengusaha Karaoke dan masyarakat dalam menjembatani pemahaman bersama, itulah tanggung jawab media kepada publik.

Sekali lagi penulis tidak bermaksud melakukan justifikasi bahwa Karaoke selalu identik dengan hal-hal yang bersifat negatif, karena memang faktanya banyak Karaoke yang murni hiburan untuk keluarga seperti halnya Karaoke yang ada di Mall, tetapi dalam konteks Tasikmalaya, sebagai kota yang mengemban amanah tentang prinsip beragama yang kuat maka perlu kiranya kita peka terhadap persoalan-persoalan yang akan menimbulkan resistensi terhadap makna religius atau ikon kota santri yang dimiliki oleh Tasikmalaya. Untuk itulah sebagai warga kota Tasikmalaya, penulis mencoba membagi kepekaan tersebut sebagai bahan renungan kita bersama.

Dimuat pada kolom Wacana Harian Radar Tasikmalaya Edisi 10 Mei 2011

Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil

Jumat, 06 Mei 2011

Kapitalisme, Gaya Hidup dan Remaja


Oleh:
Rino Sundawa Putra

Berangkat dari kegelisahan penulis tentang fenomena dan fakta maraknya remaja yang terjerumus pada prilaku hedonis yang berorientasi pada kesenangan duniawai salah satunya adalah menjadi anggota geng motor, bolos sekolah, merokok, nongkrong di Mall, Kafe atau Warnet bahkan prilaku seks bebas. penulis kemudian merenungkan beberapa pertanyaan, gejala apa ini? internalisasi nilai apa yang merasuki jiwa remaja ini, sehingga prilaku kriminal dan melanggar norma-norma (agama, sosial dan hukum) dianggap bagian untuk menunjukan ekskitensi diri? Dan apa penyebabnya?. Atas dasar itulah kemudian penulis mencoba mencari jawabannya termasuk mencari legitimasi teoritis, konseptual dan akademis untuk menemukan jawaban dari beberapa pertanyaan itu.

Masa Transisi
Remaja adalah sosok yang secara psikologis berada dalam masa transisi menuju kematangan berpikir, emosi, dan kematangan untuk bisa mengidentifikasi dirinya sendiri, baik secara individu ataupun secara sosial (jati diri). Pada masa-masa ini, remaja seolah berada dalam level pencarian, kemudian akan mengeksplorasi dirinya sendiri dengan perwujudan mencari perhatian dan eksitensi diri. pada masa transisi ini, remaja sangat rentan sekali disusupi oleh pandangan-pandangan yang ia lihat secara visual kemudian ia terjemahkan ke dalam pikiran mereka. Sayangnya, pandangan-pandangan visual yang mereka saksikan sehari-hari adalah pandangan-pandangan yang membawa pikiran mereka terhadap idealitas semu yang selalu menginginkan kesenangan semata alias hedonisme. Bagi penulis, hedonisme adalah kata kunci untuk bisa menganalisa bagaimana para remaja ini bisa terjebak pada prilaku yang menyimpang ini, dan kemudian timbul pertanyaan lanjutan, bagaimana prinsip hedonis ini bisa terinternalisasi pada sebagian besar remaja?.


Gaya hidup Lahir dari Rahim Kapitalisme

Dalam kajian teori kritik sosial, penulis mencermati tentang adanya kesadaran “palsu” yang harus diterima oleh masyarakat dengan tujuan untuk melanggengkan sistem yang ada (Kapitalisme). Kesadaran “palsu” ini menjebak manusia kepada hal-hal yang sifatnya gaya hidup, materialisme semu yang membawa setiap individu seolah-olah berada pada zona nyaman eksistensi dirinya. Akan tetapi zona nyaman yang dianggap ideal oleh sebagian individu, terutama remaja yang masih dalam masa pencarian jati diri adalah zona nyaman yang mencontoh budaya-budaya popular yang mengidentikan dirinya dengan gambaran-gambaran (visualisasi) yang mereka lihat, sayangnya visualisasi yang sering ditampilkan oleh media-media terutama media Televisi adalah visualisasi tentang makna hidup yang dipenuhi dengan hasrat memenuhi hal-hal yang sifatnya “kesenangan” yang diidentikan dengan pemilikan barang yang mengubah pandangan dan prilaku setiap individu.

Dalam era teknologi informasi seperti sekarang ini, ada sebuah era baru dimana antara industri dengan media terjadi ketergantungan yang saling menguntungkan. Ketika Industri begitu banyak menghasilkan berbagai barang dan jasa, maka diperlukan sebuah media informasi yang secara massif menginformasikan (iklan) tentang produk tersebut, dengan tujuan terjadi konsumsi massa akan sebuah produk dimana keuntungan besar menjadi targetnya. Disinilah berbagai cara teknik pemberian informasi (iklan) tentang sebuah produk dilakukan, termasuk mengeksploitasi sisi gaya hidup, artinya bagaimana iklan tersebut bisa merubah kebutuhan sekunder (tidak utama) seolah-olah menjadi kebutuhan primer (utama) dengan frame gaya hidup. Inilah kapitalisme babak baru yang begitu massifnya sehingga merubah pandangan, sikap dan gaya hidup seseorang menjadi individu yang konsumtif, individu yang memposisikan kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer demi memuaskan gaya hidupnya dengan harapan eksistensinya akan lebih diakui. Kapitalisme sekarang ini adalah kapitalisme yang mengeksploitasi kesadaran “palsu” manusia akan nilai sebuah benda (materi) dan kesenangan. Kapitalisme menciptakan masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup.

Kesadaran “palsu” ini akhirnya memberikan pandangan baru pada setiap individu bahwa kebahagiaan identik dengan hal-hal yang bersifat materi. Punya Handphone baru adalah kebahagiaan, punya mobil atau motor terbaru adalah kebahagian, rumah mewah dan pakaian bermerek adalah kebahagiaan, berlama-lama di salon adalah kebahagiaan, itulah sebagian indikator kebahagiaan bagi seseorang yang telah terjebak pada kesadaran “palsu” mengenai idealitas hidupnya.

Ketika manusia terus-menerus mengejar kesenangan demi memuaskan gaya hidupnya (akumulasi kesadaran palsu), maka pada titik tertentu manusia tersebut akan menanggalkan nilai-nilai moral, etika, norma-norma sosial bahkan melanggar norma susila demi mencapai gaya hidup tertentu, dan remaja adalah korban yang paling besar dari paradigma dan cara berpikir baru ini, karena pada masa-masa transisi ini, masa persimpangan untuk memilih, remaja sangat rentan untuk terjebak pada hal-hal negatif. Akhirnya menjadi anggota geng motor, bolos sekolah, merokok kemudian nongkrong di Mall dan di Warnet atau terjebak pada seks bebas adalah pilihan baru untuk menjajal eksistensinya demi mencapai gaya hidup yang dianggapnya sebagai gaya hidup yang ideal. Maka tidaklah mengherankan bila beberapa waktu lalu Radar Tasikmalaya memberitakan fenomena esek-esek di Tasikmalaya dimana motivasi salah satu siswi dan mahasiswi menjadi PSK dan simpanan laki-laki hidung belang adalah untuk memuaskan gaya hidupnya yang konsumtif, seperti membeli Handphone baru, baju baru, perawatan di salon dan makan-makan di Mall atau Kafe. Inilah pola kehidupan yang menuntut seseorang individu untuk selalu memenuhi kebutuhan gaya hidupnya, apapun caranya walaupun harus melanggar norma-norma yang berlaku.

Sebagai salah satu usaha untuk menghindarkan para remaja dari pandangan-pandangan hedonis ini, perlu kiranya terjadi sinergitas usaha antara orang tua dan para pendidik (guru, dosen, ulama dan tokoh masyarakat) untuk memberikan nilai-nilai kesederhanaan dalam hidup. Tanamkan nilai-nilai kerja keras guna menjauhkan para remaja dari pandangan yang serba instan dan serba mudah untuk mendapatkan sesuatu. Sebagai salah satu upaya bagi para orang tua, hendaknya jangan dengan mudah memberikan sesuatu yang diminta oleh anak yang sifatnya materi kebendaan, seperti Handphone, laptop atau motor baru, ini sebagai upaya memupuk nilai-nilai kesederhanaan pada anak. Berikan filter pada anak-anak terhadap apa yang ditontonnya di televisi, jauhkan para remaja dari tayangan-tayangan iklan, sinetron atau film yang menonjolkan kemewahan, gaya hidup atau pergaulan ala metropolis dan konsumtif apalagi tayangan-tayangan yang mengumbar syahwat, seperti fislm-film bertema komedi-seks atau horror-seks.

Di muat pada kolom Wacana Harian Radar Tasikmalaya Edisi Kamis 5 Mei 2011

Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil