BERBAGI UNTUK SALING MENCERAHKAN..

Apakah dunia maya se-fana dunia nyata?
Berbagi untuk saling mencerahkan adalah salah satu tema besar sejauh mana kita memanfaatkan Revolusi Teknologi Informasi yang begitu berkembang pesat.
Salam..

Minggu, 27 Februari 2011

Forum Focus Group Discussion Laboratorium Ilmu Politik Fisip-Unsil Kajian Politik Prosedural: Wajah Demokrasi Indonesia, Antara Idealitas dan Fakta



Forum Focus Group Discussion Laboratorium Ilmu Politik Fisip-Unsil
Kajian Politik Prosedural: Wajah Demokrasi Indonesia, Antara Idealitas dan Fakta
Jumat 25 Februari 2011


Prolog

Rakyat Indonesia tentu punya ekspektasi besar ketika gerbang demokratisasi dibuka selebar-lebarnya. Saat seluruh elemen bersatu menyuarakan Reformasi yang kemudian menjatuhkan rezim orde baru, disaat itulah harapan mengenai demokratisasi, penegakan hukum, stabilitas ekonomi yang berimplikasi pada tuntutan kesejahteraan menjadi genderang perang melawan sebuah rezim yang dianggap otoriter dan korup.
Gerakan mahasiswa yang menjadi corong telah berhasil menanamkan kesadaran kritis kolektif atas sistem kekuasaan yang menindas. Reformasi dan demokratisasi seolah menjadi resep mujarab untuk keluar dari segala keterpurukan yang dihadapi oleh bangsa.

Tiga belas tahun pasca reformasi, secara prosedural, sistem politik dan relasi antara negara dengan masyarakat sipil memang telah mengalami banyak perubahan, sistem multi partai, pemilihan langsung presiden, anggota legislatif (pusat dan daerah), bupati dan walikota kemudian otonomi daerah menjadi mekanisme yang dipercaya sebagai proses rekruitmen yang baik dalam mengelola relasi negara dan masyarakat sipil dalam konteks demokrasi. Aspirasi rakyat dalam berkumpul dan berserikat dibuka seluas-luasnya, menjamurnya LSM, gerakan mahasiswa dan kebebasan pers menjadi bagian pilar dalam menopang demokratisasi di Indonesia.

Secara prosedural, mekanisme demokrasi memang telah ditempuh, tapi secara subtansial demokratisasi sebenarnya tidak menyentuh kepentingan dan keinginan rakyat. Demokrasi hanya menjadi menara gading dan lahan subur bagi elit-elit negara yang berada dalam epsisentrum kekuasaan untuk. Teori sistem demokrasi klasik yang dikemukakan Plato dan Aristoteles telah mengisyaratkan, manakala sistem demokrasi “dibajak” oleh kepentingan segelintir orang maka akan lahir parasit kekuasan yaitu oligarkarki dan anarksime.

Inilah yang terjadi pada proses demokratisasi di Indonesia sekarang ini, jalannya demokratisasi tidak pernah sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Yang terjadi adalah demokrasi hanya menjadi lahan subur para aktor-aktor dan elit-elit politik, rakyat hanya menjadi objek yang dijadikan legitimasi kekuasaan.

Focus Group Disscusion
Dalam kegiatan Laboratorium ini, terjadi proses pengujian teori-teori demokrasi yang dipelajari oleh mahasiswa diruang kelas dengan fakta yang terjadi. Salah satu objek kajiannya adalah sebuah film dari Demos, sebuah LSM yang aktif dalam kajian-kajian demokrasi dan HAM. Format diskusi ini menitik beratkan pada intensitas komunikasi interaktif antar mahasiswa dan dosen hanya sebagai fasilitator.

Hasil Diskusi

Diskusi ini menghasilkan kesadaran kritis, argumentasi, dan analisa solutif untuk meluruskan proses demokratisasi yang dipaparkan oleh mahasiswa, membenturkan antara teori ideal sistem demokrasi dengan fakta dan fenomena yang terjadi. Kesimpulannya adalah:

1.Tujuan demokrasi telah melenceng dari harapan rakyat
2.Terjadi benturan antara teori demokrasi (klasik maupun kontemporer) dengan fakta dan fenomena yang terjadi.
3.Terjadi pemahaman sempit bahwa demokrasi hanya sebatas proses formal dan prosedural.
4.Demokrasi menjadi lahan subur segelintir orang (elit-elit) dan membentuk kelompok yang bersifat oligarkis.
5.Demokrasi telah dipahami sebagai proses yang mengakomodir aspirasi kelompok masyarakat tanpa dilandasi dengan pemahaman hukum (konstitusi) sehingga setiap kelompok merasa dominan dan memaksakan kehendak yang memicu anarkisme dalam masyarakat (elite ataupun akar rumput).

Sebagai sebuah analisa dan argument yang bersifat solutif, maka dihasilkan kesimpulan:

1.Evaluasi proses demokratisasi harus dimulai pada perubahan paradigma elite-elite politik dan masyarakat akar rumput (moral dan mental).
2.Sistem demokrasi harus berorientasi pada hal-hal yang bersifat subtansial (kesejahteraan), bukan pada hal-hal yang bersifat prosedural.
3.Proses demokrasi tidak selalu mengadopsi mentah-mentah gagasan-gagasan luar (barat).
4.Proses demokrasi harus berorientasi dan mengadopsi nilai-nilai lokal yang akan dikonversi pada frame legalitas formal sistem demokrasi.

Selasa, 22 Februari 2011

Pentas Hukum di Panggung Media



Oleh:
Rino Sundawa Putra

Berbicara masalah hukum, masyarakat awam mungkin akan sedikit mengkernyitkan dahi. Bagi sebagian besar masyarakat kita, hukum adalah sebuah hal yang sangat mengawang-awang, jauh dari jangkauan pikiran. Jangankan berbicara sistem dan saluran hukum yang berlaku di negara kita, mengartikan kata hukum saja mereka kebingungan. Masyarakat sudah terlanjur menganggap hukum sebagai “mainan” orang-orang yang berada dalam episentrum kekuasaan, dan dalam prakteknya hukum yang adil hanya bisa diakses oleh orang-orang berduit, artinya azas keadilan yang terkandung dalam nilai filosofis hukum tidak pernah dirasakan secara merata apalagi oleh sebagian besar masyarakat kita yang tidak berduit dan jauh dari episentrum kekuasaan. Nilai yang terinternalisasi dalam mendefinisikan hukum bagi sebagian besar masyarakat kita adalah hukum sebagai kewajiban yang bersifat memaksa, harus dipatuhi dan bukan sebagai hak dimana setiap warga negara dilindungi oleh hukum.
Bagi penulis, ada sedikit harapan dimana sebagian besar masyarakat kita yang awam akan hukum, bisa sedikit mencerna tentang bagaimana hukum itu ditegakan, bagaimana hukum itu bisa diperdebatkan, bagaimana proses hukum itu ditegakan. Dan ini akan bermuara pada proses pendidikan hukum yang akan mengajari masyarakat kita tentang mekanisme dan tata cara hukum itu ditegakan, dan harapannya bagaimana masyarakat bisa mencerna hukum secara utuh sehingga hukum tidak dianggap melulu sebagai kewajiban yang memaksa tapi lebih menyadari bahwa hukum itu adalah hak bagi setiap warga negara.

Dalam konteks ini, warna yang berbeda dalam proses penegakan hukum adalah keberadaan media. Media memberikan pengaruh luar biasa terhadap animo, partisipasi dan perhatian publik terhadap kasus demi kasus yang terjadi di negeri ini. Politisi, pengamat dan praktisi hukum sering berbicara dalam menanggapi kasus demi kasus yang tengah terjadi dengan mengatakan “mari kita buka terang benderang kasus ini, biarkan rakyat melihat”, maka penulis berani mengatakan medialah yang menjadi ujung tombak dan garda terdepan dalam memberikan “cahaya” penerang dari setiap kasus hukum yang tengah terjadi.

Dalam kerangka relasi antara negara dan masyarakat sipil, media menjadi pilar utama dalam menjembatani kepentingan rakyat terhadap penguasa dimana hal ini akan membangun kesadaran masyarakat sipil dalam membangun relasi dengan negara (kekuasaan) termasuk hukum didalamnya. Dan fungsi inilah yang dikatakan sebagai fungsi kontrol sosial yang diemban oleh media untuk mengawal demokrasi bangsa ini yang masih seumur jagung.
Hampir selama 32 tahun media “diborgol” oleh tangan kekuasaan supaya berhati-hati dalam memberitakan sesuatu, terutama menyangkut kepentingan penguasa, kini media sangat leluasa dan bebas memberitakan segala sesuatu hal. Serentetan kasus hukum yang menimpa sejumlah petinggi negara, kini tidak luput dari incaran media. Apa yang diberitakan oleh media menyangkut sejumlah kasus hukum yang terjadi, secara perlahan memberikan masyarakat edukasi, edukasi yang tidak hanya menggambarkan bagaimana rusaknya sistem penegakan hukum dan rusaknya moralitas para penegak dinegeri ini, tapi memberikan rangsangan supaya masyarakat berani melawan, berani kritis bila ada persoalan hukum yang dianggap mencedarai rasa keadilan masyarakat.
Masih ingat dalam ingatan kita, bagaimana kasus hukum prita melawan Rumah Sakit Omni International, bagaimana kasus mbo minah yang mencuri tiga biji kakao. Reaksi publik begitu kuat dalam menyikapi kedua kasus hukum tersebut, ini mengindikasikan bahwa kesadaran masyarakat dalam mengkontruksikan hukum sebagai hak yang melindungi warganya semakin kuat, ini artinya publik akan bereaksi bilamana hukum sudah mencederai rasa keadilan masyarakat. Dan dibalik ini semua, media yang paling berperan dalam “mementaskan” hukum ditengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari pendidikan hukum rakyat.

Di media, kita melihat bagaimana para pengamat, praktisi hukum dan para pengacara berdebat dan berargumentasi tentang bagaimana hukum itu ditegakan, media membuka sebuah diskusi yang memberikan ruang informasi bagi publik tentang bagaimana hukum itu harus diposisikan. Kita lihat, rentetan kasus hukum yang diperlihatkan oleh media, dan ini menurut penulis akan membangun sebuah daya nalar bagi masyarakat luas mengenai apa itu hukum, masyarakat diberikan kebebasan untuk menilai dan mengkontruksikan bagaimana hukum itu harus dikelola dan bagaimana proses penegakan hukum dinegara ini. Hukum bukan sebuah hal yang mengawang-ngawang, dan proses inilah sebagai bagian penguatan kesadaran masyarakat agar terjadi pembukaan akses terhadap hukum yang dikonotasikan sebagai domain kekuasaan, dimana masyarakat biasa ternyata bisa menjamah hukum itu.

Penegakan hukum sudah seharusnya memberi ruang terhadap rasa keadilan masyarakat, dimana dalam prosesnya, partisipasi, opini dan penilaian harus dilempar kepada ruang-ruang publik. Ada jalur dimana proses penegakan hukum dan pencarian keadilan tidak hanya digelar dalam ruang-ruang pengadilan, tapi keadilan itu bisa ditempuh dengan cara mengukur sejauh mana rasa keadilan itu disebarkan. Ini adalah tugas para penegak dan aparatur hukum, sejauh mana mereka peka terhadap penilaian publik dalam sebuah kasus yang terjadi. Pentas hukum inilah yang harus terus diberikan oleh media kepada masyarakat, agar aparat penegak hukum diberikan second opinion sebagai pembanding supaya bisa mengukur rasa keadilan dan hak-hak masyarakat yang wajib dilindungi oleh hukum tersebut.

Demokrasi tidak hanya membuka akses terhadap wilayah-wilayah kekuasaan, demokrasi juga harus membuka akses seluas-luasnya terhadap proses penegakan hukum. Tidak hanya kekuasaan, hukum pun harus dikontrol oleh kehendak publik. Hukum harus bersifat fleksibel tidak kaku, bisa dijamah oleh semua orang. Ruang yang kini disajikan oleh media dengan “mementaskan” hukum ketengah-tengah masyarakat adalah awal yang baik untuk memberikan alternatif baru bagi penegakan hukum dinegara ini. Hukum harus terbuka guna memberikan ruang penilaian bagi masyarakat. Keadilan yang menjadi tujuan proses penegakan hukum, menjadi kabur apabila makna keadilan itu hanya dimakani, dipahami dan dirasakan oleh segelintir orang. Makna keadilan harus merata dan dirasakan oleh banyak orang. Mungkin inilah salah satu alternatif penegakan hukum ditengah rusaknya sistem penegakan hukum dan moralitas para penegak hukum kita.

Jumat, 11 Februari 2011

Akan terbit : Jurnal Aliansi Fisip-Unsil Vol. 3 No. 1 Tema: Life Politic's


Pemesanan: Rino Sundawa Putra (0852 1487 4455)

Prolog

Kekuasaan merupakan bagian tak terpisahkan dari ruang besar kajian-kajian politik klasik maupun kontemporer. Kekuasaan tidak hanya dimaknai dari proses politik yang formalistik tetapi pendekatan lahirnya kekuasaan juga bisa dilihat dari bagaimana sebuah kebudayaan yang kemudian melahirkan prilaku-prilaku individu yang akan mempengaruhi sistem kekuasaan dan relasinya dengan masyarkat setempat, termasuk formulasi kebijakan yang dihasilkannya.
Dalam jurnal edisi kali ini mempunyai tema besar tentang makna kekuasaan yang dibangun dalam kebudayaan tertentu, pandangan tertentu (Life) sehingga akan membentuk pola kekuasaan tertentu, partisipasi politik tertentu dan formulasi kebijakan tertentu.

Tulisan pertama Subhan Agung yang menyoroti mengenai relasi kuasa dalam model kepemimpinan adat di kampuang Kuta, Ciamis Jawa Barat. Penulis, dengan menggunakan metode kualitatif etnografi, mencoba mengekplorasi makna kekuasaan atas nama legitimasi amanat karuhun secara tradisional masyarakat adat setempat dalam melembagakan kekuasaan. Nilai-nilai lokal setempat kemudian dijadikan frame dalam mengelola kekuasaan yang berpengaruh terhadap pola kepemimpinan yang berlaku serta proses pengisian kepemimpinan yang bisa diakui.

Objek kajian yang sama juga bisa dibaca dari hasil penelitiannya Akhmad Satori dan Taufik Nurohman dari sisi partisipasi politik dan formulasi kebijakan dalam masyarakat adat kampung Kuta. Tulisan ini menyuguhkan bagaimana pola interaksi sosial politik dalam kaitannya dengan partispasi politik yang akan melahirkan kebijakan (output dan input) dalam masyarakat adat setempat. Dalam tulisan ini terlihat bagaimana pola interaksi dan komunikasi serta partisipasi dibangun berdasarkan dua arah, Pertama, partisipasi politik dalam proses kebijakan di internal komunitas adat, dan Kedua, partisipasi politik dalam proses formulasi kebijakan di tingkat desa. Dari hasil penelitian ini, terlihat adanya perbedaan sistem yang dibangun, elitis dan demokratis. Formulasi kebijakan yang hanya melibatkan masyarakat adat saja, pola yang dibangun adalah pola yang sangat tertutup, dimana tokoh adat dan kuncen sangat mendominasi formulasi tersebut tanpa adanya proses dialog yang bersifat dua arah. Berbeda halnya dengan formulasi eksternal yang melibatkan masyarakat diluar kampung adat, seperti halnya formulasi kebijakan yang difasilitasi oleh pihak desa, terlihat sangat terbuka. Ini merupakan hal yang sangat kontras antara sistem komunikasi dan formulasi kebijakan yang dibangun didalam dan yang melibatkan peran luar komunitas adat.

Tulisan ketiga oleh Mohammad Ali andreas dan Wiwi Widiastuti yang berusaha mengupas mengetahui persepsi lima partai politik (PKB, Golkar, PKS, PPP, dan PDI) di Kabupaten Tasikmalaya dalam mengimplementasi perundang-undangan tentang keterwakilan perempuan dalam partai politik dan pemilu periode 2009-2014, dan kendala yang dihadapi perempuan dalam pemenuhan kuota 30%. Frame tulisan ini didasarkan pada cara pandang masyarakat Taikmalaya teramasuk elit-elit partai politik dalam memaknai keterlibatan perempuan dalam ranah politik praktis, mengingat nuansa keislaman yang sangat tradisional di Tasikmalaya yang masih membenturkan perempuan dengan kodrat yang secara sempit berdasarkan pandangan teologis yang sangat sempit.

Tulisan keempat oleh Wiwi Widiastuti menyoroti tentang sejauhmana perempuan yang duduk di parlemen dapat membuat kebijakan yang berkeadilan gender diantara dikotomi antara ruang privat dan ruang publik. Metode yang digunakan adalah metodologi kualitatif, dengan teknik pengambilan informan menggunakan Purposive sampling. Tulisan ini menyambung dari tulisan ketiga yang lebih kontekstual terhadap output kehadiran politisi perempuan diparlemen. Sejauh mana eksistensi peran perempuan, diakui atau tidaknya ditengah masyarakat Tasikmalaya yang masih membenturkan isu gender dengan pandangan sempit kodrat perempuan dalam pemahaman teolois.



Tasimalaya Januari 2011,
Ketua Penerbitan Jurnal Aliansi



Rino Sundawa Putra

Rabu, 09 Februari 2011

Dijual Honda Nova 1989 akhir warna putih


Dijual Honda Nova 1989 akhir
warna putih eksterior mulus (cat oven), interior terawat, mesin halus, audio full (CD Changer, compatible to USB)
Harga 50jt (nego)

Hubungi: Rino Sundawa Putra
Call: 0852 1487 4455

Tua Tak Berarti Renta..


Tua Tak Berarti Renta..
Masih ingat dengan iklan asuransi yang menawarkan hidup nyaman tanpa kerja keras disaat tua? Ya.. hidup nyaman yang tentu menjadi idaman setiap orang. Saat usia sudah tak muda lagi, saat itulah tubuh sudah menampakan tanda-tanda “ketidak-berdayaannya”, saat itulah otot dan tulang sudah lelah menopang tubuh kita, mata sudah tak mampu bekerja keras untuk memvisualisasikan apa yang kita lihat, dan bukan tidak mungkin berbagai penyakit sudah mampu menyerang pertahan tubuh kita. Itulah mungkin apa yang bisa saya definiskan sebagai manusia yang sudah renta. Disaat renta inilah, ketika manusia sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa maka inilah waktu untuk memanjakan diri dari segala aktifitas, dan berdiam diri, duduk diatas kursi goyang, membaca Koran, minum teh, kegiatan hobi terus menerus dan mendapatkan pelayanan maksimal dari anak dan cucu, dan bila anak cucu sudah enggan untuk melayani ayah, ibu atau kakek dan neneknya yang sudah tenta, maka panti jompo lah menjadi jalan terbaik guna terbebas dari “gangguan” si ayah, si kakek dan si ibu atau si nenek (sadis bukan?). Tentu hal inilah yang dipotret dengan baik sebagai rasionalitas oleh iklan asuransi tersebut.
Apa boleh dikata, idealitas hanya idealitas, keinginan tinggal keinginan, karena faktanya penulis harus miris ketika melihat si tua ini masih harus terus berjuang, bekerja keras demi sebuah kehidupan. Tulang dan otot yang sudah lelah harus dipaksa terus bekerja. Setidaknya dalam satu bulan ini penulis melihat empat orang yang sudah tua masih harus berjibaku dalam kerasnya hidup. Pertama seorang nenek yang kira-kira berusia 90 tahun, berjalan pelan meraba menjajakan lauk pauk, kedua seorang nenek tua yang tertatih-tatih menjajakan jagung rebus keliling gang dipinggiran kota Tasikmalaya, ketiga masih seorang nenek yang menjajakan pecel disebuah lokawisata Batu Raden Purwokerto, dan yang ke empat seorang kakek yang ditelantarkan anak-anaknya, dan terpaksa untuk menyambung hidup dia berpeluh menanam kangkung kemudian dia jual keliling komplek seharga Rp. 500 per ikat. Kisah si kakek ini terekam apik nan haru dalam sebuah acara televisi bertajuk “Orang Pinggiran”.
Dari sinilah kemudian penulis merenung, bahwa tak selamanya tua itu bisa dikatakan renta karena bagi penulis definisi renta itu adalah payah, tidak mampu, ripuh (bahasa sunda) dan lelah. Bagi penulis sosok keempat orang tua itu adalah sosok yang masih perkasa, kuat dan sanggup untuk bergerak, bergerak dalam mencari keyakinan layaknya orang-orang muda. Sosok tua renta justru adalah orang tua yang mendambakan hidup serba nyaman diakhir-akhir hidupnya dengan pelayanan penuh dari anak atau cucunya, persis seperti gambaran yang ada dalam iklan asuransi tersebut.
Ahirnya, satu pertanyaan penulis, apakah kita memilih untuk menjadi sosok tua renta atau hanya tua secara fisik tapi muda akan tekad, kemauan dan kerja keras? Semoga kelak kita tidak menjadi renta…
Salam….

Selasa, 08 Februari 2011

Fakta Dunia “Remang-Remang” Vs Religiusitas Masyarakat Kota Santri


Oleh:
Rino Sundawa Putra

Fakta-fakta tentang dunia esek-esek di Tasikmalaya yang begitu gamblang disajikan oleh Radar Tasikmalaya tidak membuat penulis tercengang. Fenomena dunia penuh lendir dan syahwat ini (begitulah Radar Tasikmalaya mengistilahkannya) sudah tidak lagi menjadi rahasia pribadi, tapi sudah menjadi rahasia umum, bahkan sebagian masyarakat sudah tidak menganggap tabu lagi dunia “pelesir” syahwat ini. lewat produk jurnalistik dengan menggunakan metode investigasi dan wawancara mendalam (Indepth Interview), Radar berhasil “memotret” dan mengangkat realitas ini secara apik bagai sebuah bagian-bagian novel yang membuat pembacanya begitu penasaran untuk membaca lanjutan berita (Picture) yang dibuat bersambung ke beberapa edisi.
Tapi disisi lain penulis juga mempunyai dua asumsi yang berlawanan karena terbukanya informasi yang sangat gamblang tentang fenomena dunia esek-esek di Tasikmalaya ini. Asumsi pertama, dengan diangkatnya fakta esek-esek ini, akan timbul kesadaran dan kewaspadaan kolektif tentang bahaya penyakit masyarakat ini. Publik kemudian akan saling mewaspadai karena sudah tahu celah-celah, tempat-tempat dan motif-motif dunia prostitusi yang secara gamblang dijelaskan. Hal ini sangat penting untuk mewaspadai agar orang terdekat kita seperti anak, kakak, adik, saudara bahkan orang tua tidak menjadi penikmat dunia haram ini. Tapi asumsi kedua adalah sebuah kekhawatiran, karena disisi lain bila terbukanya informasi mengenai celah-celah prostitusi di

Tasikmalaya tanpa dimuatnya penuturan, komentar dan “petuah-petuah” dari para tokoh seperti tokoh agama, alim ulama, sosiolog, budayawan atau bahkan psikolog dikhawatirkan informasi tersebut akan “merangsang” dan membangkitkan rasa penasaran pembaca untuk mau mencoba menjadi penikmat PSK. Ini artinya ketakutan adanya ketidak seimbangan dominasi informasi, wacana, pandangan bahkan internalisasi dari objek berita bila tidak diimbangi pendapat dan petuah para tokoh yang mempunyai kompetensi dalam mengomentari hal ini, akan membuat informasi tersebut disalah gunakan dengan merespon bahwa informasi tersebut bukan untuk membangun kewaspadaan, tapi justru malah membangun “ketertarikan”.

Tapi apapun kekhawatiran itu, bagi penulis, karya jurnalistik ini sangat layak untuk dijadikan referensi bahkan laporan yang sangat teruji validitasnya bagi pemangku kebijakan pemerintah Kota/Kabupaten Tasikmalaya. Bayangkan, dengan menggunakan metode Snow Ball sampling reporter Radar Tasikmalaya berhasil masuk kedalam jaringan penyedia layanan PSK (mami) ini, kemudian mewawancari satu persatu, dari mulai PSK kelas teri sampai PSK kelas kakap. Dari siswi SLTP, SLTA, mahasiswi sampai PSK berusia lanjut, semua terklasifikasikan dengan lengkap. Investigasi semacam ini memang memerlukan totalitas dari reporternya sendiri untuk masuk dengan penuh resiko kedunia “malam” ini. Kalaulah pemerintah mau peka terhadap masalah sosial ini, yang berdampak sangat buruk bagi moralitas masyarakat Tasikmalaya, pemerintah harus sigap mengolah data-data dan informasi ini yang kemudian dijadikan bahan untuk menganalisa celah-celah mana saja yang bisa diusahakan untuk meminimalisir praktek haram ini. kalau pemerintah mau konsisten ingin membangun dan mempertahankan masyarakat yang religius Islami (Kabupaten memiliki Visi Misi Relgius Islami dan Kota memiliki Perda Tata Nilai nomor 12 Tahun 2009), alangkah baiknya data-data ini tidak diabaikan.

Sahabat saya, kang Asep M Tamam begitu cerdas menyikapi masalah sosial ini yang dimuat di Radar Tasikmalaya sebagai sebuah ironi yang terjadi di Tasikmalaya, ditengah jargon religiusitas yang begitu dijunjung tinggi. Bagi penulis, ini adalah sebuah menara gading yang sangat sulit dipahami, dihayati, diinternalisasikan apalagi diimplementasikan oleh masyarakat luas. Visi misi Religius Islam yang dimiliki Kabupaten Tasikmalaya dan Perda Nomor 12 yang dimiliki Kota Tasikmalaya tidak pernah menyentuh kesadaran kolektivitas masyarakatnya untuk mau meningkatkan nilai-nilai Islami dalam dirinya. Dimana letak kesalahannya, sehingga pelembagaan nilai-nilai dan hukum teologis agama (Islam) kedalam struktur formal kekuasaan yang kemudian dikonversi menjadi prinsip, landasan dan hukum posistif daerah tidak mempan dalam meningkatkan religiusitas dan moralitas masyarakat. Apakah telah terjadi inkonsistensi dari pemerintah untuk mau betul-betul menjaga nilai-nilai religiusitas masyarakatnya? Apakah tidak solidnya perangkat dan aparatur yang terlibat?, apakah lemahnya implementasi dari para penegak aturan daerah akibat keengganan untuk menegakannya? Atau ada faktor diluar itu, seperti maraknya konten-konten pornografi, gencarnya arus budaya hedonisme, materialisme dan gaya hidup glamor dengan memamerkan keseksian tubuh? Inilah beberapa pertanyaan yang menggelayuti pikiran penulis.

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, kemudian penulis menyimpulkan. Dalam masalah ini, sangatlah tidak adil untuk menunjuk salah satu pihak atau faktor untuk dipersalahkan. Maraknya praktek prostusi ini bagaikan rangkaian puzzle yang masing-masing punya keterkaitan, sehingga akan membentuk korelasi yang utuh sebagai sebuah akibat. Memang sangat sulit bila hanya mengandalkan sebuah produk hukum positif apalagi Perda) atau sebatas visi misi ditengah gencarnya arus paradigma budaya hedonis dan materialis. Ditambah mudahnya mengakses materi-materi porno sebagai akibat perkembangan teknologi informasi yang begitu dahsyat. Sebab-sebab inilah yang kemudian secara perlahan tapi pasti akan mengikis dan mencerabut moralitas dan nilai-nilai Islami. Bukan sebuah keniscayaan, bila Tasikmalaya yang dulu dikenal karena religiusitas masyarakatnya, berkembangnya dunia pendidikan berbasis keagamaan (Pesantren), kini tinggal sebuah jargon-jargon politik milik para elite yang hanya menjadi menara gading.

Memberangus Akar Penyebab

Fenomena dunia esek-esek ini memang sangat sulit diberantas karena hukum ekonomi berlaku disana, hukum permintaan dan penawaran (Supply and Demand). Sejauh permintaan dari para lelaki hidung belang masih banyak, otomatis praktek prostitusi akan semakin mendapat tempat dan akan terus menjamur. Dan bila saja permintaan itu berkurang, atau mungkin tidak ada sama sekali, otomatis warung remang-remang, lokalisasi dan tempat-tempat mangkal para PSK akan tutup, dan para PSK mau tidak mau akan mencari pekerjaan yang halal untuk mencari nafkah.

Masalah terkikisnya nilai-nilai religiusitas bukanlah milik Tasikmalaya saja, ini adalah masalah nasional bahkan global. Akar permasalahan bukanlah bersumber dari ranah lokal saja, apalagi menganggap mubazirnya produk-produk hukum (Perda) bernuansa syariat dibeberapa daerah di Indonesia yang sempat menjadi polemik. Perlu kerja kolektif antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam meminimalisir masalah ini. pemberantasan materi-materi porno diberbagai media, adalah salah satu langkah dalam usaha meminimalisir masalah ini.

Materi-materi porno memang secara kita tidak sadari telah masuk-masuk ke ruang-ruang keluarga lewat televisi. Tayangan-tayangan yang menggumbar keseksian tubuh adalah tayangan yang sehari-hari kita dapatkan, baik itu di acara sinetron, film, infotainment, acara otomotif, musik, bahkan iklan. Bayangkan bila tayangan-tayangan tersebut setiap hari dilihat oleh anak-anak. Film-film yang bertemakan komedi-seks-horor harus betul-betul diberangus dalam dunia perfilman kita, itu sebabnya konsistensi Lembaga Sensor Film (LSI) sangat diperlukan, karena sering kali film-film berbau pornografi bahkan berjudul cabul bisa lolos ditonton ribuan masyarakat di bioskop dan di televisi. Bila produk hukum (Perda bernuansa syariat) sudah dianggap tidak efektif untuk meminimalisir tindak pelanggaran asusila ini karena bersifat penindakan dan bukan pencegahan, maka orientasi usaha ini harus dirubah. Paradigma penindakan harus dirubah menjadi paradigma pencegahan. Dalam orientasi ini, peran tokoh-tokoh agama dari berbagai lintas agama perlu ditingkatkan, faktor pendidikan dini dilingkungan keluarga dan lingkungan pendidikan formal harus menjadi ranah yang diutamkan dalam membina generasi, artinya kesadaran kolektiflah yang harus dibangun secara dini untuk memberikan kesadaran bahwa tindakan asusila adalah perbuatan tercela. Bila pemerintah mau bersungguh-sungguh, banyak akses-akses menuju upaya yang berorientasi pencegahan yang bisa dilakukan, salah satunya yang penulis paparkan diatas.

Ini adalah pekerjaan rumah kita semua, karena masalah prostitusi ini terbentuk bukan tanpa sebab. Semua berperan, pemerintah berperan dalam ranah legal formal, dan kita sebagai individu-individu juga berperan dalam berbagai kapasitasnya, minimal kita sebagai individu tidak tergoda menjadi penikmat PSK ditengah arus godaan syahwat yang luar biasa gencar.

Senin, 07 Februari 2011


Siapa aku,kamu, kita dan kalian? untuk apa dilahirkan? kenapa kita dilahirkan? apa yang mesti kita lakukan diplanet yang luas ini? mungkinkah semua pertanyaan itu kita jawab? aku, kamu, kita dan kalian akan menempuh sebuah perjalanan panjang yang mungkin akan menyenangkan tapi melelahkan. tapi tidak semua orang akan menemukan sebuah titik tentang makna hidupnya... (Graha Pena Radar Tasikmalaya, Ruang Redaksi, 14. 40 WIB 3 Januari 2010)

Semua berawal dari sebuah harapan, harapan untuk bisa berguna pada setiap ruang dan waktu aku berada. Aku telah sampai pada fase dimana aku harus bergelut dan berpikir tentang realitas hidup yang sebenarnya, tanpa fantasi-fantasi kekanak-kanakan.

"Kita tidak pernah tahu bagaimana hari esok, yang bisa kita lakukan adalah berbuat sebaik-baiknya dan berbahagialah hari ini" (Samuel Taylor)

Konsolidasi Birokrasi Pasca Pemilukada

Oleh:
Rino sundawa Putra
Pemilukada Kabupaten Tasikmalaya telah usai, kemenangan sudah diraih oleh salah satu calon. Warga Kabupaten Tasikmalaya patut bersyukur, Karena Pemilukada kali ini tidak menyisakan konflik yang berkepanjangan, walaupun ada pihak-pihak yang merasa tidak puas karena ada dugaan kecurangan, tapi bagi penulis para elit yang bertarung di Kabupaten Tasikmalaya cukup dewasa dalam menyikapi hasil Pemilkukada ini, setidaknya bagi pihak-pihak yang mensinyalir ada dugaan kecurangan lebih memilih mengumpulkan bukti untuk diajukan ke Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai upaya yang legal dan dijamin oleh Undang-Undang dalam memutus perkara atau sengketa Pemilukada, ketimbang memobilisasi massa kemudian protes sana-sini yang bukan tidak mungkin akan menimbulkan anarkisme dan resistensi sosial seperti halnya yang terjadi dibanyak daerah. Mekanisme demokrasi prosedural telah terlaksana cukup baik, walaupun secara subtansial penulis masih tetap bertanya-tanya, sejauh mana hasil Pemilukada ini memberikan perubahan yang lebih baik bagi masyarakat Kabupaten Tasikmalaya.Pemilukada memang telah begitu banyak menghabiskan “energi” berbagai pihak, dari mulai Partai politik (DPRD sebagai representasi formal), tim sukses, tokoh masyarakat, media, pengamat politik, akademisi, penulis sampai ke birokrat.
Birokrasi dan Kekuasaan
Sudah bukan rahasia lagi bahwa peta-peta atau blok-blok dukungan menjelang Pemilukada terjadi dilingkungan para birokrat. Berbagai faktor yang melatar belakanginya pun beragam dari mulai kepentingan pragmatis, kedekatan, jabatan, atau bahkan karena nalar idealis yang menginginkan harapan perubahan dari salah satu calon. Hadirnya beberapa calon dari mantan birokrat juga menambah “seru” polarisasi birokrasi menjelang Pemilukada di Kabupaten Tasikmalaya.
Birokrasi dan politik (kekuasaan) memang menjadi dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, saling memberi dan menerima itulah prinsip birokrasi bila sudah diseret-seret ke wilayah politik. Ada konsekuensi logis dimana prinsip “The right man on the right job” tidak pernah digunakan dalam rekruitmen jabatan publik (PNS) bila biokrasi terjebak dalam kubangan politik praktis, yang ada adalah “siapa mendukung siapa”.
Sejarah telah membuktikan bagaimana birokrasi merupakan sumber daya politik yang sangat besar, sumber daya yang bisa melanggengkan struktur kekuasaan. Orde Baru, adalah Orde yang paling banyak menggunakan kekuatan birokrasi sebagai pondasi untuk melanggengkan sistem kekuasaan. Pada waktu itu, selain militer bagaimana kemudian Orde Baru melakukan “kuningisasi” pada institusi pelayan masyarakat ini. Pandangan yang terbentuk pada waktu itu adalah, bila dia seorang PNS, bisa dipastikan dia adalah pendukung fanatik Golkar.
Analisa penulis mengenai polarisasi birokrasi menjelang Pemilukada ini diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok loyal. Kelompok ini memiliki konsistensi yang tinggi ketika mendukung seseorang calon, dan cenderung untuk terus menghimpun dan mencari dukungan dari dalam. Kedua, kelompok oportunis. Kelompok ini adalah kelompok yang cenderung ambigu dalam memberikan dukungan, ambiguitas ini dikarenakan selalu menghitung-hitung keuntungan dan kerugian juga mencari keselamatan posisi dan jabatan. Dan kelompok ketiga adalah kelompok birokrat yang lurus, kelompok yang tak pernah memikirkan apa-apa dari hasil Pemilukada, biasanya kelompok ini mempunyai prinsip “kumaha brehna we” atau “kumaha ceuk nu di laluhur” . konsekuensi logis yang paling terasa oleh para birokrat akibat adanya dukung mendukung ini ibarat judi, yang selalu bermain-main dengan kemenangan atau kekalahan. Bagi kelompok birokrat yang calonnya mengalami kekalahan, maka siap-siap untuk tersisih, dimutasi atau karirnya akan terhambat, tapi kelompok birokrat yang calonnya menang, maka siap-siaplah menduduki jabatan baru atau kenaikan pangkat dan golongan secara instan.
Harmonisasi Birokrasi Pasca Pemilukada
Kini, bola itu ada ditangan pemenang Pemilukada. Bekerja atau tidaknya sistem birokrasi daerah ada ditangan Bupati terpilih. Dalam hal ini, bagaimana Bupati terpilih dituntut untuk bersikap objektif dan menanggalkan kalkulasi dukung mendukung dalam tubuh birokrasi menjelang Pemilukada. Hasrat untuk menyisihkan kelompok yang tidak mendukung dan menyokong kelompok yang kalah harus dibuang jauh-jauh. Resistensi akibat kemenangan dan kekalahan dalam tubuh birokrasi akan menimbulkan dis-harmonisasi para birokrat, dan ini tentu saja akan berakibat pada merosotnya kinerja para pelayan masyarakat ini.
Bupati memang jabatan politik, tetapi dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang yang mempunyai kapasitas sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan, bupati harus memerankan konsep manajerial yang utuh dalam menata birokrasi agar terjadi harmonisasi dan sinergitas dalam tubuh birokrasi. Birokrasi (dari Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas, Kecamatan hingga Desa) merupakan garda terdepan dan ujung tombak pemerintah dalam menjalankan program-program pemerintah. Jika terjadi dis-harmonisasi atau resistensi pada tubuh birokrasi akibat ekses Pemilukada yang tidak bisa diredam, maka program-program yang selama ini diusung dalam kampanye seperti gerbang desa, pengentasan kemiskinan dan kesederajatan dalam pelayanan kesehatan mungkin tidak akan tercapai.
Menurut Webber (1948), seorang teoritikus klasik konsep-konsep birokrasi, bahwa birokrasi merupakan hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Dapat disimpulkan bahwa legalitas dengan menggunakan legitimasi peran kekuasaan sangatlah penting sebagai pemegang kunci berjalannya sistem birokrasi. Bila pucuk pimpinan yang memengang kendali kekuasaan tidak menggunakan konsep manajerial yang objektif berdasarkan kemampuan-kemampuan individu dan cenderung mengendalikan birokrasi dengan frame politis, maka sistem birokrasi tidak akan berjalan pada poros yang semestinya.
Webber juga mengemukakan mengenai patologi (penyakit) birokasi yang menekankan pada adanya dominasi kekuasaan yang berlebihan dalam menjalankan sistem birokrasi (penyalahgunaan wewenang). Artinya, bila pucuk pimpinan tertinggi (Bupati) dalam birokrasi menggunakan pendekatan kekuasaan yang membabi buta dalam mengatur birokrasi, mengatur perangkat-perangkat, jabatan, fungsi dan kewenangan berdasarkan kalkulasi dalam melanggengkan kekuasaannya daripada melanggengkan pola kerja yang berorientasi terhadap fungsi pelayanan yang optimal, maka birokrasi akan jalan ditempat, karena energinya dihabiskan untuk memikirkan konflik-konflik yang syarat akan kepentingan dalam tubuh birokrasi.
Kita berharap kepada Bupati terpilih agar bisa mengkonsolidasikan dan mengharmonisasikan birokrasi pada rel yang semestinya. Polarisasi dukung-mendukung menjelang Pemilukada kemarin harus bisa diakhiri dengan hasrat kepemimpinan yang dewasa yang semata-mata berorientasi pada kerja dan kinerja yang prima dari para abdi negara ini.

ANTARA SYAHWAT LELAKI, POLIGAMI, KAWIN KONTRAK DAN INDUSTRI SEKS

Ada “gunjingan” bahkan perdebatan yang menurut saya setengah serius dan setengah menggelikan. Dianggap serius karena memang isu tersebut telah diseret ke ranah birokratisasi yang dikelola sebagai produk hukum, baik itu hukum yang sifatnya formalistik Negara atau hukum sosial budaya yang sifatnya informal (tercipta dengan pranata nilai sosial dalam sebuah komunitas masyarakat tertentu), bahkan diangkat berdasarkan keyakinan dan legitimasi agama. Tapi sebetulnya bisa juga diangap menggelikan, karena gunjingan dan perdebatan itu secara telanjang mengangkat prilaku syahwat dan nafsu birahi manusia.
Ya.. itulah poligami. Disini saya tidak perlu mendefiniskan panjang lebar mengenai poligami, toh semua orang bisa mendefinisikan sendiri apa itu poligami (sesuai cara pandang dan perspektif masing, bahkan kepentingan masing-masing). Bagi pelaku poligami klaim-klaim berdasarkan legitimasi agama menjadi senjata ampuh untuk menangkis serangan, bagai bom atom yang menggempur Hiroshima dan Nagasaki, “daripada jinah” (hah.. tameng yang klise). Bagi para penentangnya, prilaku poligami tidak lebih sebagai prilaku yang tidak menempatkan wanita sebagai manusia, dimana laki-laki dianggap sebagai kaum yang dominan, tentunya rasa keadilan wanita telah terkoyak dengan prilaku ini (apalagi dalam perspektif gender).
Konon katanya, prilaku poligami ini sangat berpengaruh terhadap psikologis laki-laki. Laki-laki yang melakukan poligami menganggap dirinya sebagai lelaki sejati yang bisa menaklukan beberapa wanita dan menambah rasa percaya diri, apalagi laki-laki pelaku poligami dapat menunjukan eksistensinya sebagai orang kaya karena dalam beberapa budaya di Indonesia (mungkin lebih spesifik jawa dan sunda) memiliki lebih dari satu istri adalah lambang kemakmuran. Masuk akal memang, karena memiliki lebih dari satu istri tentunya pengeluaran ekstra untuk menafkahinya. Bagi orang sunda, sering sekali terlontar dari obrolan warung kopi, “mun loba duit mah hayang nyandung urang teh”. Bahkan raja-raja jawa memiliki kepercayaan bahwa simbol-simbol kekuasaan yang absolut adalah memiliki banyak selir.
Begitu juga dengan kawin kontrak atau nikah sirih, kabar terbaru mengenai isu bahkan fenomena ini adalah adanya Rancangan Undang-Undang dimana pelaku nikah sirih dapat dijerat dengan pasal-pasal pidana. Tapi saya melihat pendekatan dan argumen-argumen lahirnya RUU ini lebih kepada aspek tertib administrasi dan pencatatan di KUA. Tidak subtansi memang dan terkesan birokratis, lebih masuk akal ketika ada yang menggunakan pendekatan mengenai masa depan perempuan dan anak yang dihasilkan, sebab pernikahan sirih tidak pernah mengenal apa itu harta gono-gini ataupun hak waris.
Sebelum saya menerangkan bagaimana korelasinya dengan bisnis esek-esek, rasanya lebih baik saya menyatakan pendapat terlebih dahulu mengenai apa yang melatarbelakangi ini semua. Kenapa dari poligami dan nikah sirih, kaum laki-laki terkesan kaum yang superior dan dominan, sehingga dengan mudahnya dapat menaklukan wanita (seperti Hitler yang menganggap ras arya sebagai ras yang paling unggul dan ambisi zionis Yahudi yang ingin menaklukan semua bangsa). Saya percaya persoalan yang paling mendasar ada pada hasrat biologis laki-laki, atau lebih vulgarnya nafsu birahi atau syahwat. Dalam berbagai perdebatan seputar poligami dan kawin kontrak, sering kali laki-laki dianggap sebagai “biang” masalah (api dari asap poligami dan nikah sirih). Bagi saya pendapat ini memang ada benarnya juga, tapi saya mencoba membatasi dari kodrat biologis dan kecendrungan prilaku seks yang diberikan Alloh SWT kepada laki-laki.
Untuk referensi argument saya, saya kutip tesisnya Francis Fukuyama dalam buku yang berjudul Guncangan Besar. Dalam bukunya, Fukuyama mencoba menjelaskan modal sosial yang terbentuk sebagai dasar terciptanya ketertiban atau kemapanan sosial yang lahir dari rahim kapitalisme . Menurut Fukuyama salah satu indikator kemapanan sosial tersebut salah satunya lahir dari sebuah ikatan keluarga, antara ibu, ayah dan anak (tapi saya tidak akan menjelaskan secara komprehensif korelasi ini dengan kesimpulan bukunya Fukuyama, melainkan salah satu aspek yang mendukung tulisan ini).
Francais percaya, bahwa perilaku seks laki-laki, selain dipengaruhi oleh faktor biologis, juga dipengaruhi oleh keadaan sosial yang akan membentuk prilaku dorongan yang lain selain dari faktor biologisnya. Fukuyama mengambil kesimpulan dari ahli biologi bernama Robert Trivers, menurut Trivers : dalam sebagian besar spesies, betina sangat pemilih dalam urusan pasangan seks, sementara jantan tidaklah terlalu pemilih. Betina biasanya dirayu oleh banyak jantan dan ia menolak semuanya kecuali satu atau beberapa diantaranya. Pilihan ini sama sekali tidak sembarangan. Dalam penelitian lapangan dimanapun, mengenai cara betina memilih pasangannya, jelas sekali tampak bahwa betina memilih pasangannya dengan cara yang khas. Sebagian besar betina dalam satu spesies memilih dengan cara yang sama, sehingga hasil pilihannya ialah sejumlah kecil jantan yang mendapat banyak kesempatan untuk berhubungan kelamin dengannya. Sebaliknya jantan merayu banyak betina dan berhubungan kelamin dengan sebagian besar atau semua Betina jika diterima.
Merujuk penelitian Trivers, Fukuyama kemudian berpandangan lelaki pada dasarnya mempunyai pembawaan biologis lebih suka berganti-ganti pasangan dan tidak terlalu pemilih dibandingkan dengan perempuan dalam mencari kepuasan seks. Hal ini merupakan konsumen utama industri esek-esek (prostitusi dan pornografi) (Francais Fukuyama, 1999 : 120).
Kemudian peran laki-laki secara biologis terpusat pada penyediaan sumber daya bagi perempuan dan anak-anak, jelas hal ini merupakan sebuah hukum lintas agama dibelahan dunia manapun, dimana peran laki-laki ketika dia memutuskan untuk menjalin ikatan biologis dan psikologis dalam sebuah komitmen pernikahan, laki-laki harus siap “tempur” memberikan asupan sumber-sumber (sandang, pangan, papan dan pendidikan untuk anak-anaknya), “tanggung jawab” adalah kata yang simple yang lazim dikatakan oleh lidah orang Indonesia.
Namun biologi juga menunjukan peranan rapuh dan goyah, sejauh mana lelaki akan hidup dengan pasangannya dan tetap berperan aktif dalam membesarkan anak-anaknya, tidak bergantung pada naluri dan hasrat melainkan dari jenis-jenis norma-norma sosial, sanksi, adat istiadat dan hukuman atau tekanan dari masyarakat sebagai mahkluk sosial. (Francais Fukuyama, 1999 : 121). Artinya aturan-aturan formal dan normal yang terbentuk berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma sosial, adat istiadat dan budaya yang memproduksi kesan “sanksi” atau “gunjingan” bagi laki-laki yang kedapatan melakukan selingkuh, nikah siri, kumpul kebo misalnya, atau poligami.
Menurut Fukuyama, sebagian masyarakat mencipatakan aturan (baik itu hasil pranata sosial, budaya dan adat istiadat : mas kawin. Atau hukum formal : KUA, buku nikah) yang berbelit-belit untuk mengikat pasangan begitu mereka menikah. Aturan-aturan ini menurut Fukuyama mencerminkan bahwa ikatan yang dibangun oleh laki-laki dengan perempuan sebetulnya sangatlah rapuh, sehingga manusia menciptakan sanksi untuk “mengintervensi” dan meminimalisir watak hasrat seks laki-laki.
Beberapa pertanyaan besar kemudian lahir dari uraian diatas, apakah kemudian industri seks (pornografi : media cetak, film porno dan situs-situs porno juga prostitusi) yang memancing gelagat hasrat seks laki-laki yang semakin menggila sekarang ini, atau industri seks yang memahami dan selalu tajam menilai bahwa hasrat laki-laki memang sangat besar untuk dieksploitasi. Pertanyaan ini sangat penting karena mencari sebab akibat yang mungkin akan mengkritisi sebuah hal yang dianggap sebagai sebuah kebenaran absolute (telur dulu ayam dulu). Bila jawaban mengarah kepada industri seks yang membangkitkan gelagat prilaku seks laki-laki yang semakin menggila, maka kita harus acungi jempol dan dukung kepada kelompok-kelompok (pemerintah atau non pemerintah) yang gencar untuk membasmi pornografi dan prostitusi. Tapi bila jawabannya adalah industri seks yang sangat jeli untuk mengekspolitasi hasrat laki-laki yang memang begitu besar maka ini akan kembali menimbulkan pertanyaan baru. Apakah bila semua lini industri seks ditutup total, apakah poligami, nikah siri atau kawin kontrak juga akan dapat menurun atau hilang sama sekali, artinya seorang laki-laki akan terus membina satu keluarga dan komitmen kuat untuk terus berkumpul bersama satu istri dan beberapa anak? Bahkan tidak ada lagi pria-pria arab yang menikahi kontrak wanita-wanita dengan segala fasilitasnya didaerah lembang dan cianjur? Akankah lokalisasi yang selama ini memutarkan omset milyaran rupiah (dolly di surabaya misalnya) akan gulung tikar? Inilah beberapa pertanyaan besarnya? Semoga ada yang bisa menjawab..
Memang argumentasi ini bertitik tolak dalam kerangka logis dan rasional yang bertumpu pada kodrat ilmu modern biologi laki-laki, tapi pendekatan-pendekatan moral dan agama juga sangat perlu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas (karena saya bukan seorang atheis atau liberalis tulen). Menggunakan pendekatan pendekatan moral jelas akan berbicara mengenai hukum-hukum agama. Iman dan keyakinan kepada hukum-hukum agama, iman yang murni yang betul-betul lahir dari keyakinan terdalam manusia dalam mencari pegangan hidup, ketaatan dalam mencari keselamatan. Berbicara moral dalam konteks ini sangatlah rumit juga sedikit membingungkan, dan saya tentunya harus belajar banyak ilmu-ilmunya. Seperti kawin kontrak, betul halal secara moral dan agama (saya yakini sebagai umat Islam), tapi apakah dampak yang ditimbulkannya juga dapat diterima secara moral? Apa yang terjadi dengan masa depan wanita dan anak-anaknya yang lahir dari praktek nikah sirih para pria arab di lembang? Karena secara moral dan logikanya Fukuyama, ini berarti pengabaian terhadap komitmen untuk terus berkumpul dan menafkahi istri dan anak-anaknya. Nikah siri berarti apa yang disebutkan oleh Fukuyama sebagai kerapuhan dimana laki-laki menjadi biang keladinya karena mencoba melepaskan komitmen dan tanggung jawab dan lebih memilih hasratnya ketimbang sanksi-sanksi sosial, adat istiadat dan budaya. Apakah praktek poligami dan nikah siri punya sanksi sosial yang harus dipertanggung jawabkan didepan komunitas-komunitas sosial atau masyarakat yang ada?

Minggu, 06 Februari 2011

Revolusi Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial Dalam Perspektif Materialistis Yang Mengikis Nilai-Nilai Nasionalisme

Perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi telah membawa perubahan besar terhadap prilaku sosial masyarakat. Pesatnya perkembangan teknologi tidak hanya berdampak pada masyarakat yang dibatasi oleh batas-batas wilayah seperti negara, tapi jauh menembus batas regional bahkan global. Lahirnya penemuan-penemuan baru di bidang teknologi informasi membawa dampak yang sangat massif sebagai akibat dari pemanfaatan teknologi informasi.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi ini, telah mengubah pola sosial dan tatanan-tatanan sosial lama. Perubahan ini ditandai dengan berubahnya pola interaksi, gaya hidup, prilaku, cara pandang, cara hidup dan orientasi sosial. Perubahan sosial sebagai dampak dari revolusi teknologi informasi sebetulnya bukan fenomena atau temuan baru secara konsep teori keilmuan. Hal tersebut sudah di analisa oleh Veblen dalam Perpektif materialistis. Pendekatan yang dirumuskan oleh Veblen ini, merujuk atau dipengaruhi oleh pandangan Marx, Marx mengatakan, “pandangan materialistis terhadap mekanisme perubahan kincir angin melahirkan masyarakat yang feodal. Mesin uap melahirkan masyarakat Kapitalis Industri”. Sedangkan Veblen menjelaskan “teknologi mempengaruhi pikiran dan prilaku manusia, prilaku manusia dibentuk oleh cara manusia memperoleh dan mempertahankan kehidupan. Yaitu dengan teknologi”

Pandangan marx ini memang merujuk pada latar revolusi industri yang kemudian menurut Marx akan melahirkan pola sosial baru yang disebut masyarakat kapitalis, dimana klasifikasi kelas Borjuis dan kelas buruh menjadi strata baru dalam membagi kelas-kelas sosial. Perpektif Materialistis yang dikemukaan oleh Veblen cukup mewakili sebagai landasan teori fenomena kekinian mengenai perubahan sosial sebagai dampak revolusi teknologi informasi. Kemudian bila melihat apa yang di kemukakan oleh Marx dan Veblen, apakah kemudian pendekatan Ideologi sebagai kendaraan dalam merubah pola sosial menjadi usang dan sudah terbantahkan?.

Kita lihat Perspektif Ideologi sebagai landasan dalam melakukan perubahan sosial. Perspektif ini menjelaskan bahwa kekuatan pendorong mempengaruhi perubahan dari satu keadaan sosial ke keadaan sosial yang lain dimana ide, ideologi atau nilai akan mempengaruhi pola atau tatanan sosial lama. Perspektif ini kemudian di konfrontir dengan Perspektif Materalistis yang kemudian menghasilkan jalan tengah, dimana memperhitungkan faktor material sebagai bagian dari perubahan sosial.

Tapi pertanyaannya adalah, dari dua pendekatan tersebut (Perspektif materialistis dan Perspektif Idealis), manakah yang lebih relevan guna menjawab fenomena yang terjadi dalam konteks kekinian?

Sebagai landasan historis, masyarakat di kelompokan pada masa-masa tertentu, yaitu Masa Berburu/Pengumpul, Masa Pertanian/tradisional, dan Masa Industri. Tapi klasifikasi tersebut berubah dengan karakteristik kekinian yang lebih relevan merujuk pada perubahan-perubahan sosial baru. Pengklasifikasian baru ini dikemukakan oleh Bell (1973), dimana masyarakat dikelompokan menjadi tiga kelompok, Masyarakat Agraris, Masyarakat Industri dan Masyarakat Pasca Industri (Post Industri).

Masyarakat Post Industri bisa dikatakan sebagai masyarakat dengan pola dan tatanan sosial baru sebagai akibat dari perkembangan teknologi yang sudah mencapai klimaksnya, yang akhirnya melahirkan masyarakat baru sebagai Masyarakat Pasca Industri. Masyarakat Pasca Industri ini ditandai dengan perkembangan atau revolusi industri yang melahirkan penemuan-penemuan baru dibidang teknologi informasi, maka dari itu masyarakat Pasca Industri ini sering dikatakan sebagai Masyarakat Informasi Pasca Industri.

Ciri-ciri perubahan sosial sebagai akibat dari revolusi teknologi informasi ini, dirasakan sangat tidak terbatas pada batas-batas teritorial tertentu, tetapi dampaknya sangat mengglobal. Ini mengakibatkan berubahnya pola-pola interaksi yang tidak dibatasi lagi oleh jarak dan waktu. Internet dan Telepon genggam sebagai salah satu penemuan cemerlang dibidang teknologi informasi, telah merubah pola-pola sosial lama seperti pandanga dalam berinteraksi atau berwawasan, prilaku sosial, gaya hidup atau pandangan hidup.

Dalam pandangan global, orang kemudian tidak lagi dibatasi akan ilmu-ilmu, pengetahuan-pengetahuan wawasan-wawasan, informasi-informasi dalam skala lokal, tetapi orang dituntut memiliki cara pandang yang mengglobal, hal tersebut kemudian akan mempengaruhi gaya hidup dan prilaku seseorang secara massif. Inilah kemudian yang akan bermuara pada perubahan sosial terstrukur. Untuk itulah dalam kerangka Globalisasi, agenda Globalisasi selalu berbasis pada revolusi teknologi informasi sebagai dasar utama. Dalam hal ini, dampak yang kemudian muncul adalah terkikisnya nilai-niai atau internalisasi paham-paham nasionalisme dalam batas teritori negara, dirubah menjadi nilai-nilai dan internalisasi Global Minded. Fenomena jejaring sosial (Facebook, Twiter, YM, Blog, Friendster), bahkan fenomena pornografi di dunia maya termasuk kasus video mesum artis, adalah salah satu dampak kecil perubahan orientasi sosial yang merubah sikap, prilaku dan gaya hidup masyarakat, dan yang paling parah adalah perubahan sosial yang mengikis aspek moralitas masyarakat.

Terkikisnya nilai-nilai nasionalisme dalam konteks adanya batasan teritorial (negara), jelas akan menghambat perubahan sosial yang merujuk pada pendekatan Idealis atau Ideologi, karena pendekatan ideologi, merujuk pada analisa historis, misalnya benturan Komunis dan kapitalisme bahkan Agama, selalu dibatasi oleh teritori-teritori tertentu (negara dan kawasan regional). Ini artinya, pendekatan Idealis atau ideologi kalah massif dengan perubahan sosial yang menggunakan pendekatan Materialis. Pertarungan ideologi dalam arti sebenarnya (benturan Komunis, Sosialis, demokrasi, Kapitalisme dan Islam) justru akan di menangkan oleh pihak yang menguasai teknologi informasi, karena disana ada proses internalisasi, sosialisasi dan propaganda yang dampaknya sangat massif ( terutama Media/Pers). Bila merujuk pada tesisnya Fukuyama, The End Of Histori, pada akhirnya demokrasi dan sistem kapitalis-lah yang akan memenangkan “pertarungan”, yang akan mengglobal sehingga semua negara didunia ini akan “tunduk” dalam sistem itu. Analisa Fukuyama ini tidak lepas dari fenomena-fenomena perubahan sosial yang diakibatkan pada revolusi teknologi informasi sebagai pendukung utama agenda kapitalisasi dan Globalisasi.

Jika di runtut dari teori-teorinya Marx dari mulai perubahan sosial sebagai efek revolusi industri yang menghasilkan pertarungan antar kelas, antara kelas borjuis dan kelas buruh, sehingga akan membentuk masyarakat komunis. Kemudian analisa Marx mengenai masyarakat kapitalis industri, rasanya sangat wajar bila Marx seolah-olah menyadari bahwa revolusi industri akan melahirkan sistem sosial baru dimana masyarakat kapitalis menjadi perubahan sosial yang sangat besar. Hal tersebut kemudian dikembangkan oleh Veblen dalam merumuskan pendekatan Matrerialistisnya. Hal tersebut kemudian yang membuat Bell mengelompokan masyarakat menjadi tiga, Masyarakat Agraris, Masyarakat Industri dan Masyarakat Post Industri. Ini menjelaskan bahwa kesimpulan Marx mengenai akan terbentuknya masyarakat komunis menjadi terbantahkan dengan kemenangan masyarakat Industri dalam membentuk tatanan sosial baru yang kemudian dilanjutkan dengan masyarakat Post Industri (masyarakat Informasi Pasca Industri) yang akan membentuk tatanan atau perubahan sosial yang baru.